Jumat, 29 Juli 2011

SIDHAT SEGARA ANAKAN 10 - 海的孩子鳗鱼

SIDHAT SEGARA ANAKAN 10 - 海的孩子鳗鱼


Permasalahan Kawasan Segara Anakan

Yuliarko Sukardi on 12 24, 2010
Abstrak

Laguna Segara Anakan merupakan perairan yang berlokasi di daerah muara pantai selatan Jawa Tengah, di perbatasan antara kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Segara Anakan merupakan kawasan lahan basah yang sebagian besar tertutup oleh 26 jenis tanaman mangrove. Ekosistem mangrove di kawasan Segara Anakan merupakan tempat pemijahan, mencari makan, dan membesarkan diri dari setidaknya 45 jenis ikan laut, 85 jenis burung, dan beragam satwa lainnya. 

 
Kawasan Segara Anakan dari tahun ke tahun terus mendapat tekanan akibat aktivitas manusia. Penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan pada kawasan kota dan kerusakan hutan di daerah hulu sungai menyebabkan tingginya tingkat erosi pada sungai yang bermuara ke laguna. Adanya sedimentasi mengakibatkan terjadinya pendangkalan serta penyempitan luasan laguna.
Ekosistem mangrove kawasan Segara Anakan juga mengalami tekanan lingkungan yang sangat tinggi akibat penebangan liar. Masyarakat melakukan penebangan liar karena alasan kondisi ekonomi seperti untuk keperluan membuka areal pertambakan, pertanian, permukiman, dan pemanfaatan kayu mangrove sebagai material bangunan serta bahan baku arang untuk kebutuhan industri.
Tulisan ini mencoba untuk mengiventarisir permasalahan yang ada di kawasan Segara Anakan sebagai bahan masukan dalam merencanakan strategi penyelamatan Segara Anakan.
I.    PENDAHULUAN

Kawasan Segara Anakan terletak di antara 7°35′ – 7°46′ S dan 108°45′ – 109°01′ E, di perbatasan antara provinsi Jawa Barat dan provinsi Jawa Tengah sebelah selatan Pulau Jawa. Luas keseluruhan kawasan Segara Anakan adalah sekitar 24.000 hektar, meliputi perairan, hutan mangrove, dan daratan-daratan lumpur yang terbentuk karena sedimentasi. Laguna Segara Anakan merupakan perairan yang berlokasi di daerah muara di pantai selatan Jawa Tengah, terletak di perbatasan antara kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (gambar 1). Definisi laguna dalam istilah geografi adalah perairan yang hampir seluruh wilayahnya dikelilingi daratan dan hanya menyisakan sedikit celah yang berhubungan dengan perairan laut. Sifatnya jauh lebih tertutup dibandingkan dengan teluk, apalagi selat.
Di masa lalu, Segara Anakan merupakan kawasan lahan basah yang sebagian besar lahannya tertutup oleh 26 jenis tanaman mangrove. Hutan mangrove Segara Anakan memiliki komposisi maupun struktur hutan terlengkap dan terluas di Pulau Jawa. Keberadaan mangrove ini sangat berperan penting dalam siklus hidup beberapa biota karena kemampuannya dalam menyediakan nutrisi bagi biota di perairan sekitarnya. Ekosistem mangrove di kawasan Segara Anakan merupakan tempat pemijahan, mencari makan, dan membesarkan diri dari 45 jenis ikan laut, baik jenis ikan yang menetap seperti ikan prempeng (Apogon aerus), udang, kepiting, lobster, kerang totok, kerapu merah, cumi-cumi,


Gambar 1. Kawasan Segara Anakan


gurita, bawal putih, kakap putih, layur, pari, sotong, sidat, ikan hiu, dan biota laut lainnya, maupun 17 jenis ikan yang tidak menetap/bermigrasi seperti ikan sidat laut (Anguilla sp). Setelah mereka dewasa, biota laut tersebut kemudian keluar melalui muara laguna ke laut lepas, untuk selanjutnya ada yang ditangkap para nelayan dan sebagian merupakan mata rantai pangan bagi berbagai jenis ikan besar di Samudra Hindia.
Sebagai ekosistem yang subur dan kaya akan nutrisi membuat kawasan ini juga ramai dikunjungi oleh beragam satwa seperti monyet, linsang, dan setidaknya 85 jenis burung, termasuk 160-180 bangau bluwok (mycteria cinerea) dan 25 bangau tongtong (leptoptilos javanicus) yang mana keduanya tercatat sebagai burung terancam punah. Segara Anakan juga memiliki biota yang unik, salah satunya adalah ikan sidat. Ikan ini memiliki kandungan DHA hampir dua kali lipat dibandingkan ikan biasa. Bahkan menurut hasil penelitian disebutkan bahwa dari dua belas spesies ikan sidat di dunia, tujuh diantaranya berkembang di kawasan Segara Anakan.
Dengan seluruh kekayaan itu, laguna Segara Anakan telah menyumbang produksi perikanan pantai lebih dari 62 milyar rupiah dalam satu tahun. Bahkan berdasarkan perhitungan para peneliti asing, nilai kekayaan perikanan di kawasan Segara Anakan mencapai 8,3 juta dolar AS per tahun. Sebuah riset yang juga sempat dilakukan di Segara Anakan mengkuantifisir setiap hektar mangrove dengan biota laut yang menumpangnya memiliki nilai ekonomis hingga 1.400 dolar AS. Lembaga independen Amerika Serikat, Engineering Consultant Incorporation (ECI), yang juga meneliti Segara Anakan menyebutkan, 94% udang di perairan lepas pantai selatan Pulau Jawa menggunakan laguna Segara Anakan sebagai tempat pembiakannya.
Selain itu, keanekaragaman hayati yang dimiliki kawasan Segara Anakan berpotensi untuk digali sebagai salah satu daerah tujuan wisata serta sebagai laboratorium alam tempat belajar bagi anak-anak sekolah dan tempat melakukan penelitian bagi para mahasiswa ataupun peneliti dalam mengamati fenomena alam dan lingkungan sekitarnya yang memiliki ciri khas dan tidak dijumpai di wilayah lain.
II.    PERMASALAHAN LINGKUNGAN

Kawasan Segara Anakan dari tahun ke tahun terus mendapat tekanan akibat aktivitas manusia. Saat ini kawasan Segara Anakan dihadapkan pada dua masalah pokok, yakni sedimentasi (pendangkalan) dari sedimen (berupa lumpur dan limbah) yang terbawa sungai-sungai yang bermuara kedalam laguna dan berkurangnya luasan hutan mangrove.
Sedimentasi

Laguna Segara Anakan secara kontinyu mengalami degradasi akibat tingkat sedimentasi yang tinggi. Adanya sedimentasi selama bertahun-tahun pada perairan tersebut telah mengakibatkan terjadinya pendangkalan serta penyempitan luasan laguna.
Laguna Segara Anakan sebagai muara dari beberapa sungai besar seperti Sungai Citanduy, Cibereum, Cimeneng, Cikonde, dan beberapa sungai lainnya membawa konsekuensi pada melimpahnya pasokan air dan sedimen yang terbawa kedalam laguna. Penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan pada kawasan kota dan kerusakan hutan di daerah hulu sungai menyebabkan tingginya tingkat erosi pada sungai tersebut.
Erosi pada sungai-sungai yang bermuara di laguna Segara Anakan menyumbang material lumpur dan bahkan limbah sebanyak 5.000.000 m3/tahun, dimana sebesar 1.000.000 m3/tahun terendapkan di laguna. Dari 1.000.000 m3 tersebut, 750.000 m3 disumbangkan oleh material yang dibawa aliran Sungai Citanduy, sedangkan sisanya 250.000 m3 berasal dari material yang dibawa sungai lainnya. Sehingga, total sedimentasi di laguna terhitung sejak tahun 1994 hingga kini sudah melebihi 5.000.000 m3.
Material lumpur dan limbah yang dibawa aliran air sungai akan tersuspensi pada dasar perairan yang kemudian terakumulasi menjadi endapan. Akibat adanya endapan tersebut menyebabkan pendangkalan pada laguna, menyempitnya luas perairan, serta adanya tanah timbul.
Laju sedimentasi yang tinggi dari tahun ke tahun menyebabkan luasan laguna Segara Anakan semakin menyusut. Walaupun terdapat perbedaan data dari berbagai sumber yang berbeda, namun data-data tersebut menunjukkan kecenderungan yang sama dalam menggambarkan laju penurunan luasan laguna Segara Anakan seperti terlihat pada gambar 2. Sedangkan gambar 3 memperlihatkan hasil pengolahan data inderaja luasan laguna Segara Anakan.




Gambar 2. Laju Penurunan Luasan Laguna Segara Anakan






Gambar 3. Data Inderaja Luasan Laguna Segara Anakan

Sumber: Profil Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy, Ditjen Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum


Laju sedimentasi yang tinggi di laguna Segara Anakan juga mengakibatkan menyempitnya alur (celah) di Plawangan Barat yang menghubungkan laguna dan laut lepas Samudera Hindia hingga berjarak sekitar 60 m antara pulau Jawa dan Nusakambangan dari sebelumnya berjarak 300 m pada tahun 2002. Kedalamannya pun menjadi semakin dangkal, mulai dari minus 0,63 m sampai 4,6 m. Celah tersebut sangat penting untuk mengalirkan air sungai dan sedimen ke laut, sirkulasi air laut dan air tawar di laguna, serta menjadi pintu gerbang masuk dan keluarnya biota laut pada saat pemijahan, mencari makan, dan membesarkan diri.


Kerusakan Hutan Mangrove

Di samping masalah sedimentasi, ekosistem hutan mangrove kawasan Segara Anakan juga mengalami tekanan lingkungan yang sangat tinggi akibat penebangan liar, yang mengakibatkan berkurangnya luasan hutan mangrove. Masyarakat melakukan penebangan liar karena alasan kondisi ekonomi seperti untuk keperluan membuka areal pertambakan, pertanian, permukiman, dan pemanfaatan kayu mangrove sebagai material bangunan serta bahan baku arang untuk kebutuhan industri.


Meningkatnya harga udang di pasar dunia pada tahun 1997 telah menarik minat para investor untuk membuka usaha pertambakan udang secara besar-besaran. Para investor menyewa lahan yang dimiliki oleh pemerintah dan lahan yang menjadi hak garapan penduduk setempat, sehingga terjadi konversi lahan yang mengakibatkan berkurangnya luas area hutan mangrove secara drastis di wilayah tersebut.


Pada awal perkembangannya, tambak-tambak udang tersebut memang menguntungkan dan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat lokal. Namun, seiring stabilnya harga udang di pasar dunia, bidang usaha tambak udang tersebut mulai mengalami kerugian sehingga mengakibatkan kebangkrutan yang berujung pada penutupan usaha pertambakkan. Tidak hanya sampai di sini, pohon mangrove pun tidak bisa tumbuh lagi khususnya di tempat-tempat pemberian makanan udang karena kerasnya bahan kimia yang dipakai untuk membesarkan udang secara instan.
Menurunnya luas hutan mangrove dipengaruhi juga oleh penebangan liar yang dilakukan masyarakat untuk dijadikan kayu bakar, baik untuk kebutuhan rumah tanga ataupun industri. Keadaan ini semakin memburuk seiring dengan makin maraknya order dari bisnis arang mangrove dari sejumlah kota di tanah air ke wilayah tersebut. Kualitas arang dari mangrove dikenal paling bagus karena jenis kayunya yang keras, sehingga dijadikan bahan baku industri arang.


Sementara itu, peningkatan sedimentasi dari lumpur yang terbawa oleh beberapa sungai yang bermuara di kawasan Segara Anakan menciptakan lahan-lahan tanah timbul baru. Hal ini mendorong warga setempat dan juga masuknya para pendatang untuk menggarap lahan tanah timbul tersebut menjadi areal pertanian. Sehingga dengan alasan membuka lahan pertanian, banyak pohon mangrove yang ditebang secara liar untuk dijadikan sawah dan permukiman. Penebangan liar juga dilakukan guna memanfaatkan kayu mangrove sebagai material bahan bangunan.


Gambar 4. Laju Penurunan Luasan Hutan Mangrove Segara Anakan

Sumber: Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan


Penebangan hutan mangrove memang sudah terbukti menyebabkan luas hutan kawasan Segara Anakan kian hari terus menyusut seperti ditunjukkan dalam gambar 4 yang memperlihatkan laju penurunan luasan hutan mangrove di kawasan Segara Anakan.


III.    DAMPAK PERMASALAHAN

Kerusakan lingkungan di kawasan Segara Anakan mengancam kekayaan biota di kawasan ini. Penumpukan sedimen dari beberapa sungai yang bermuara di laguna Segara Anakan selama bertahun-tahun telah mendangkalkan dan menyempitkan perairan yang merupakan habitat biota laut dan air payau. Sebagian besar dari biota tersebut juga merupakan sumber makanan bagi burung-burung air di kawasan Segara Anakan. Tingkat erosi yang tinggi juga mengakibatkan wilayah perairan keruh dan kotor, sehingga kehidupan biota di laguna Segara Anakan pun terancam.
Gerbang Plawangan yang merupakan pintu pertemuan air sungai yang bermuara di Segara Anakan dengan laut lepas Samudera hindia kini kian sempit dan dangkal. Celah tersebut sangat penting untuk mengalirkan sedimen dan air ke laut, serta menjadi pintu gerbang masuknya biota laut untuk memijahkan diri di laguna. Kondisi tersebut menimbulkan lumpur sungai tak dapat langsung meluncur ke laut lepas karena tertahan tumpukan sedimentasi dan berkurangnya biota laut yang memijahkan diri di Segara Anakan karena kesulitan masuk kedalam laguna.
Keadaan ini semakin memburuk seiring dengan penyusutan luasan hutan mangrove yang menyebabkan peran mangrove sebagai penyedia nutrisi bagi keberlanjutan kehidupan biota laut, air payau, dan burung air yang menumpangnya berkurang. Berkurangnya luasan hutan mangrove dan sedimentasi menjadi faktor penyebab utama menurunnya jumlah tangkapan ikan di daerah pesisir dan hilangnya mata penghidupan nelayan setempat. Permasalahan ini dapat mengancam sektor perikanan laut di Cilacap.
Dampak besar lainnya akibat sedimentasi dan berkurangnya luasan hutan mangrove adalah semakin mudah terendamnya areal permukiman dan pertanian saat air pasang. Akibatnya, instalasi air bersih rusak, sumber air bersih tercemar, lahan pertanian rusak, dan banjir. Ratusan hektar lahan persawahan tidak bisa ditanami akibat terinterusi air laut. Sementara itu, hilangnya mangrove juga mengakibatkan suhu udara semakin panas.
Sedimentasi Segara Anakan tidak hanya menyebabkan banjir, namun juga mengganggu jalur perahu nelayan dan alur pelayaran kapal penyebrangan. Beberapa kendala akibat sedimentasi di kawasan ini diantaranya: jalur kapal penyebrangan antara Dermaga Lomanis, Cilacap – Dermaga Majingklak, Ciamis dan kapal besar berkapasitas hingga 300 orang antara Cilacap – Kalipucang terhenti; alur Pelabuhan Indonesia III Cabang Tanjung Intan mendangkal dan membuat kapal kandas pada tahun 2004; alur pelayaran kapal tanker pemasok minyak mentah ke pelabuhan khusus Pertamina Lomanis Cilacap terganggu; alat transportasi kapal roro dan compreng bagi wilayah setempat sebagian besar sudah berhenti beroperasi; serta Dinas Angkutan Sungai, Danau, dan Perairan (ASDP) Cilacap telah menghentikan armadanya untuk jalur Cilacap – Kampung Laut – Kalipucang sehingga transportasi ke tiga desa di Kampung Laut, yaitu Desa Ujung Gagak, Klaces, dan Ujung Alang nyaris terputus.
Segara Anakan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi memiliki kepentingan ekologi yang sangat besar. Hilangnya kawasan ini membawa implikasi ancaman ekonomi dan kerusakan lingkungan yang fatal. Jika hal ini dibiarkan, maka Indonesia akan mengalami kerugian besar dengan kehilangan satu ekosistem yang luar biasa dan unik.


]IV.    UPAYA PENYELAMATAN

Upaya yang telah dilakukan pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk mengatasi permasalahan kawasan Segara Anakan meliputi rehabilitasi hutan mangrove, pembangunan dam pengendali dan penahan, pengerukan sedimen, pembuatan daerah tangkapan atau sumur resapan, hingga penyodetan sungai.
Untuk menahan laju sedimentasi, BPKSA menjalankan program Konservasi Tanah dan Pengendalian Erosi (KTPE). Program KTPE terdiri atas kegiatan fisik dan vegetasi. Kegiatan fisik meliputi pembangunan dam pengendali, dam penahan, dan terucuk bambu. Kegiatan vegetasi berupa agro forestry, pembuatan Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumberdaya Alam (Up-Upsa), dan pembuatan kebun bibit desa. Yang menjadi sasaran KTPE terutama lahan kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimeneng, Cikawung, dan Ciseel.
Upaya penyelamatan Segara Anakan terus berlanjut dengan penyodetan Sungai Cimeneng (gambar 6) dan pengerukan yang dilakukan di titik Plawangan, selatan Desa Karanganyar, dan dekat muara, melalui Proyek Konservasi dan Pembangunan Segara Anakan (Segara Anakan Conservation and Development Project) dengan dana yang sebagian besar berasal dari pinjaman ADB dan sisanya dari APBN, antara tahun 2000 dan 2005 (gambar 5), membuat luasan laguna naik menjadi 834 Ha pada tahun 2005 dari 600 Ha pada tahun 2003. Namun kini hasil pengerukan tersebut hampir tidak berbekas karena sedimentasi yang terus menerus mengendap di kawasan ini, sehingga penyusutan luasan laguna pun terus berlangsung. Proyek yang dimulai efektif dari tahun 1997 – 2005 ini, dinilai ADB tidak berhasil.
Gambar 5. Pengerukan Laguna Segara Anakan

Sumber: Kebijakan Untuk Mangrove. Mengkaji Kasus dan Merumuskan Kebijakan. IUCN & Mangrove Action Project


Salah satu paket programnya yang belum berhasil dilakukan adalah memindahkan muara Sungai Citanduy dari laguna Segara Anakan ke teluk Nusawere, Kabupaten Ciamis dengan membuat sodetan aliran sungai sepanjang 3 km. Rencana yang lebih dikenal dengan sodetan Citanduy (gambar 6) ini berlandaskan asumsi bahwa sedimen terbesar di kawasan laguna Segara Anakan berasal dari Sungai Citanduy (75%). Sehingga air sungai beserta sedimen yang terbawa itu tidak lagi memasuki laguna Segara Anakan, melainkan langsung ke Samudera Hindia. Berdasarkan hasil studi, sebaran lumpur dari Sungai Citanduy nantinya akan terbuang melebar paling jauh 5 km dari teluk Nusawere.



Gambar 6. Sodetan Sungai Cimeneng dan Sungai Citanduy

Sumber: ADB Completion Report. 2006. Indonesia: Segara Anakan Conservation And Development Project.


Namun dalam perjalanannya terdapat kendala berupa konflik sosial di lapangan. Kelompok yang pro berpendapat bahwa sodetan adalah cara terbaik untuk menanggulangi sedimentasi yang membuat kritis kondisi laguna Segara Anakan. Sementara itu, kelompok yang kontra berpendapat bahwa sodetan hanya akan memindahkan persoalan dari Segara Anakan ke teluk Nusawere tanpa benar-benar menyelesaikan persoalan sedimentasi itu sendiri. Dikatakan lebih lanjut bahwa proyek ini justru akan meningkatkan potensi pencemaran sampah ke pantai Pangandaran (berjarak sekitar 25 km dari Teluk Nusawere) yang merupakan salah satu kawasan andalan Jawa Barat di bidang pariwisata dan mengurangi hasil tangkapan ikan bagi nelayan Ciamis karena teluk Nusawere merupakan daerah tangkapan ikan yang potensial.
Pada tahun 2007, melalui Program Gerakan Nasional Pengelolaan Air (GNPA), dibuat model sumur resapan sebagai daerah tangkapan dengan pola ekohidrolik sebanyak 20 buah di sekitar alur sungai untuk mengurangi erosi yang masuk ke laguna Segara Anakan. Hasil penelitian sementara program ini cukup efektif menghambat sedimentasi dan mendapat respon positif dari masyarakat, sehingga berkembang menjadi setidaknya 600 sumur yang telah dibuat.
Upaya pelestarian hutan mangrove terus dilakukan dengan penanaman bibit mangrove sebanyak 10.000 batang pada lahan seluas 1 Ha di Grumbul Mangun Jaya dan Lempong Pucung, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut. Kegiatan penanaman yang dilakukan oleh Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap melalui program corporate social responsibility (CSR) pada akhir tahun 2009 mengambil tema “Save The Mangrove Now!” ini melibatkan Kantor Pengelolaan Pemberdayaan Segara Anakan (KPPSA) Cilacap dan pecinta alam.


V.    PENUTUP

Laguna Segara Anakan merupakan perairan yang berlokasi di daerah muara di pantai selatan Jawa Tengah, terletak di perbatasan antara kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Segara Anakan merupakan kawasan lahan basah yang sebagian besar lahannya tertutup oleh 26 jenis tanaman mangrove. Ekosistem mangrove di kawasan Segara Anakan merupakan tempat pemijahan, mencari makan, dan membesarkan diri dari setidaknya 45 jenis ikan laut, 85 jenis burung, dan beragam satwa lainnya.
Kawasan Segara Anakan dari tahun ke tahun terus mendapat tekanan akibat aktivitas manusia. Penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan pada kawasan kota dan kerusakan hutan di daerah hulu sungai menyebabkan tingginya tingkat erosi pada sungai yang bermuara ke laguna. Adanya sedimentasi mengakibatkan terjadinya pendangkalan serta penyempitan luasan laguna.
Ekosistem mangrove kawasan Segara Anakan juga mengalami tekanan lingkungan yang sangat tinggi akibat penebangan liar. Masyarakat melakukan penebangan liar karena alasan kondisi ekonomi seperti untuk keperluan membuka areal pertambakan, pertanian, permukiman, dan pemanfaatan kayu mangrove sebagai material bangunan serta bahan baku arang untuk kebutuhan industri.
Segara Anakan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi memiliki kepentingan ekologi yang sangat besar. Hilangnya kawasan ini membawa implikasi ancaman ekonomi dan kerusakan lingkungan yang fatal. Jika hal ini dibiarkan, maka Indonesia akan mengalami kerugian besar dengan kehilangan satu ekosistem yang luar biasa dan unik.
Pembahasan mengenai permasalahan di kawasan Segara Anakan sangatlah panjang dan kompleks. Berbagai dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan begitu sensitif. Mengingat kawasan Segara Anakan berada dalam kawasan lintas wilayah administrasi dan permasalahan yang dihadapi bersifat multisektoral, maka masalah kawasan Segara Anakan merupakan masalah nasional. Oleh karena itu, membahas permasalahan ini harus secara utuh dan menyeluruh, sehingga solusi yang diberikan tidak bersifat parsial dan sesaat.

Kegiatan pengerukan dan sodetan memang dapat mengurangi dampak sedimentasi. Tetapi usaha itu bukanlah satu-satunya solusi, melainkan harus ditindaklanjuti dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Apalagi jika tidak cermat dan teliti dalam mengkaji masalah, upaya pengerukan dan sodetan dapat mengancam dan menimbulkan masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan baru pada ekosistem yang ada. Konsep konservasi yang tampaknya lebih diterima masyarakat setempat adalah dengan penyelamatan hutan mangrove dan rehabilitasi lahan di DAS Citanduy dan sungai-sungai lainnya yang bermuara di kawasan laguna Segara Anakan.
Namun, upaya-upaya penyelamatan kawasan Segara Anakan itu serasa lambat dibandingkan laju kerusakan mangrove dan sedimentasi yang kian tak terkendali. Lemahnya perencanaan dan implementasi dari strategi dan arah kebijakan yang tertuang dalam kegiatan dan program pemerintah, lemahnya penegakan hukum, serta minimnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup, sedikit banyak berkontribusi menghambat upaya-upaya menyelamatkan kawasan Segara Anakan.
-o0o-
Yuliarko Sukardi (yuliarko.sukardi@bappenas.go.id) adalah Staf Perencana Direktorat Kelautan dan Perikanan, Bappenas.

Daftar Pustaka
  http://www.bappenas.go.id/blog/?p=75














SIDHAT SEGARA ANAKAN 9 - 海的孩子鳗鱼

SIDHAT SEGARA ANAKAN 9 - 海的孩子鳗鱼





Laju Sedimentasi Laguna Segara Anakan Cilacap 1 Juta Meter Kubik Per Tahun





Laju sedimentasi Segara Anakan di Cilacap, Jawa Tengah, semakin mengkhawatirkan. Setiap tahun, sebanyak 1 juta meter kubik sedimen memenuhi laguna terbesar di Indonesia tersebut. Kepala Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA) Supriyanto, mengatakan, dari jumlah sedimen per tahun tersebut, sebanyak 750.000 meter kubik di antaranya digelontorkan dari Sungai Citanduy, sisanya dari Sungai Cimeneng.



Sekarang luas laguna kurang dari 800 hektar atau seperlima dibandingkan luasan pada tahun 1984 yaitu sekitar 3.800 hektar. Selain menyempitkan laguna, material sedimentasi merusak habitat biota laguna beserta ekosistem di dalamnya. Sejak tahun 1904, sedimentasi di laguna lebih dari 5 juta meter kubik.



Jika tidak segera ditangani, penumpukan sedimen di laguna semakin tinggi. Saat ini celah Plawangan yang menghubungkan Segara Anakan dan laut lepas mulai tertutup sedimen. Padahal, celah Plawangan sangat penting untuk mengalirkan sedimen dan air ke laut. Selain itu menjadi jalur pintu masuk biota laut untuk memijah di laguna. Kerusakan daerah aliran sungai (DAS) di Citanduy dan Cimeneng menjadi penyebab sedimentasi. Sebagian besar DAS Citanduy berada di Jawa Barat.



Untuk mengatasi sedimentasi, BPKSA bekerja sama dengan instansi terkait akan melaksanakan program pemberdayaan masyarakat di Segara Anakan. Hal itu meliputi pembenahan aliran sungai, budidaya perikanan, dan pemanfaatan air hujan untuk sumber air. Langkah ini ditempuh karena sedimentasi mengakibatkan jatuhnya ekonomi masyarakat serta krisis sumber air bersih.



Pada tahun 2011, Segara Anakan akan dikeruk, khususnya di celah Plawangan. Deputi III Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Emil Agustiono mengatakan, diperlukan strategi besar untuk menyelesaikan masalah Segara Anakan, termasuk normalisasi DAS Citanduy. (Kompas, Sedimentasi 1 Juta Meter Kubik Per Tahun, Kamis 9 Juli 2009)




TIPOLOGI SEGARA ANAKAN CILACAP







Tanah dan Geologi



Secara genesis, Segara Anakan terbentuk sebagai produk kegiatan tektonik, melalui proses pembentukan zona depresi Citanduy, yaitu zona yang relatif datar dan rendah yang terjadi karena merosok turun ke bawah sehingga mempunyai ketinggian lebih rendah dari wilayah sekitarnya. Zona depresi ini terbentang luas dari Pedataran Banjar sampai ke Cilacap, sepanjang lebih dari 50 kilometer dan lebar sekitar 15 kilometer, dibatasi sesar-sesar besar, yang justru sebagai penyebab merosoknya zona depresi itu (Wibisono, 2000).



Pasang Surut



Perairan Segara Anakan dalam waktu satu hari (24 jam) terjadi 2 kali pasang dan 2 kali surut atau disebut dengan tipe diurnal. Hal ini sesuai dengan pasang surut yang terjadi diperairan laut bebas. Pasang tertinggi terjadi pada pukul 11.00-17.00 dan pukul 23.00-02.00, surut terendah terjadi pada pukul 22.00-02.00 dan pukul 17.00-19.00.



Air laut dari samudara Hindia masuk ke Segara Anakan melalui dua arah, dari sebelah timur air laut masuk melalui Sungai Donan yang merupakan celah pasang surut dan dari barat melalui celah Nusawere. Aliran air yang paling berpengaruh terhadap perairan di Segara Anakan adalah yang melalui Nusawere yang terletak di sebelah barat Pulau Nusakambangan. Saat pasang air laut dan air tawar yang tercampur didistribusikan ke Sungai Citanduy ke laguna utama dan sungai-sungainya yang ada dan ke hutan mangrove. Massa air yang melewati muara sebelah barat saat banjir, merupakan pencampuran air tawar dan air laut. Saat surut air tawar dari Sungai Citanduy langsung masuk ke Lautan Hindia melewati muara sebelah barat. Sebagian besar air ini, serta sedimen yang dibawanya akan tetap dimuara tersebut, terutama saat arus laut lemah. Setelah tercampur dengan air laut, air ini mengalami resirkulasi menuju laguna selama pasang tertinggi berikutnya.








Vegetasi



Vegetasi mangrove yang berada di Kawasan Segara anakan merupakan merupakan yang terluas di Pulau Jawa yang masih tersisa (LPP Mangrove.1998). Jenis-jenis tumbuhan di hutan mangrove Segara Anakan Cilacap yaitu:
  • Avicennia alba (Api-api),
  • Avicennia marina (Api-api),
  • Avicennia oficinalis (Api-api),
  • Sonneratia alba (Bogem/Perepat),
  • Rhizophora mucronata (Bakau Gandul),
  • Rhizophora apiculata (Bakau kacangan),
  • Bruguiera gymnorrhiza (Tancang),
  • Bruguiera parviflora (Tanjan),
  • Xylocarpus granatum (Nyirih),
  • Xylocarpus moluccensisi Lam (Nyuruh),
  • Cerbera manghas Linn (Bintaro),
  • Heritiera littoralis (Dungun),
  • Aegiceras corniculatum (Gedangan),
  • Excoecaeia agallocha (Buta-buta atau kayu getah),
  • Ficus retusa (Panggang),
  • Premna obtusifolia (Singkil),
  • Dolichaudrone spathacea (Jaranan),
  • Nypa fruticans (Nipah),
  • Achanthus ilicifolius (Drujon, jerujon),
  • Derris heterophylla (Godelan, Gadelan),
  • Acrostichum aureum (Warakas),
  • Clerodendron maraecoset (Glontang warak),
  • Atalantia trimera oliv (Jerukan),
  • Lumnitzera littorea (Kayu duduk, Teruntum Merah),
  • Amalan,
  • Corypha uton (Gebang),
  • Ceriops Tagal (Tingi),
  • Hibiscus tiliaceus (Waru, kembang kuning)
  http://www.kesimpulan.com/2009/07/laju-sedimentasi-laguna-segara-anakan.html






SEDIMENTASI DI SEGARA ANAKAN CILACAP



Oleh : Sena Wiratama Sumantri Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Universitas Padjadjaran



Pengertian Segara Anakan

Segara anakan disebut juga Laguna (atau lagoon dalam bahasa Inggris) adalah sekumpulan air asin yang terpisah dari laut oleh penghalang yang berupa pasir, batu karang atau semacamnya. Jadi, air yang tertutup di belakang gugusan karang (barrier reef) atau pulau-pulau atau didalam atol disebut laguna.
Istilah lagoon dalam bahasa Inggris dimulai tahun 1769. Diadaptasi dari laguna Venesia (cf Latin lacuna, ‘ruang kosong’), yang secara khusus menunjuk ke pembatas Venesia, tanah pembendung air laut, yang melindungi dari Laut Adriatik dengan pantai penghalang Lido (lihat Laguna Venesia). Laguna menunjuk ke laguna pantai yang terbentuk oleh pasir atau karang di pantai yang dangkal dan laguna atol yang terbentuk dari pertumbuhan terumbu karang. Dari bahasa Inggris inilah kata laguna dalam bahasa Indonesia berasal.
Laguna pantai biasa ditemukan di pantai dengan pasang surut relatif kecil. Ia mencakup kira-kira 13 persen dari keseluruhan garis pantai. Umumnya memanjang sejajar dengan pantai dan dipisahkan dari laut oleh pulau penghalang, pasir dan bebatuan atau terumbu karang. Penghalang laguna bukan karang dibentuk oleh aksi gelombang atas arus pelabuhan yang terus menerus membuat sedimen kasar lepas pantai. Sekali penghalang laguna terbentuk, sedimen yang lebih runcing bisa menetap di air yang relatif tenang di belakang penghalang, termasuk sedimen yang dibawa ke laguna oleh sungai. Khasnya laguna pesisir memiliki bukaan sempit ke laut. Sebagai akibatnya, keadaan air dalam laguna bisa agak berbeda dari air terbuka di laut dalam hal suhu, salinitas, oksigen yang dibebaskan dan muatan sedimen.


Perhatian terhadap Segara Anakan

Membicarakan sedimentasi Sungai Citanduy dan sungai lain berarti pergulatan menyelamatkan perairan dan Laguna Segara Anakan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.Laguna itu memang mengalami pendangkalan dan kehilangan ekosistem uniknya yang merupakan habitat dan tempat pemijahan ikan, udang, dan biota laut lainnya di selatan Pulau Jawa.
Perhatian mengenai hal ini telah dimulai sejak tahun 1931. Pada saat itu pejabat pemerintahan colonial belanda yaitu De Haan yang menaruh perhatian terhadap hutan mangrove. Ia khawatir, tingginya tingkat sedimentasi yang masuk dan mengendap di Perairan Segara Anakan akan menyebabkan pendangkalan di Laguna Segara Anakan.
Kekhawatiran De Haan menjadi kenyataan. Kini perairan yang terletak di selatan Cilacap dan berbatasan dengan Pulau Nusakambangan di sebelah timur dan wilayah Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, itu nyaris tinggal hikayat.


Kondisi Segara Anakan di Cilacap

Luas kawasan Segara Anakan dari tahun ke tahun kian menyusut akibat pendangkalan atau sedimentasi lumpur yang dibawa Sungai Palindukan, Cikonde, Cianduy, serta sungai lainnya yang bermuara di laguna tersebut.
Menurut data yang dimiliki Pusat Studi Kebijakan Lingkungan (PUSAKA), pada tahun 1903 luas kawasan segara anakan tercatat 6.450 hektare (ha), tahun 1992 menjadi 1.800 ha, dan tahun 2001 menyusut menjadi 1.200 ha, dan Maret 2006 hanya tersisa tidak lebih dari 834 ha.
Endapan lumpur yang dibawa beberapa sungai yang bermuara di Segara Anakan tiap tahun kurang lebih 5 juta meter kubik. Sehingga meskipun telah dilakukan pengerukan secara periodik, kontribusi lumpur dari sejumlah sungai itu mengakibatkan luas laguna kian menyempit.
Kondisi yang sangat memprihatinkan adalah di alur Plawangan Barat Nusakambangan yang kini menyempit hingga berjarak sekitar 60 m antara pulau Jawa dan Nusakambangan.


Kawasan Unik

Laguna Segara Anakan menyimpan sejumlah keunikan. Berlokasi di daerah muara di pantai selatan Jawa Tengah, tempat ini memiliki kawasan mangrove yang masih tersisa di Jawa. Malahan, sejumlah catatan menunjukkan kawasan mangrove di Segara Anakan adalah kawasan terluas di wilayah paling padat penduduk di Indonesia. Tentu saja, kawasan mangrove itu mendukung kehidupan minimal 85 jenis burung, termasuk bangau bluwok (Mycteria cinerea) dan bangau tongtong (Leptoptilos javanicus) keduanya tercatat sebagai burung terancam punah.
Kehidupan burung air dapat menjadi indikator kehidupan hayati Segara Anakan. Secara umum burung air di kawasan ini tersebar berdasar kondisi lahan basah yang berada di wilayah tersebut serta kecendrungan pola penyebaran masing-masing jenis burung.
Kawasan mangrove di tanah Jawa sudah semakin langka dan di kawasan ini kabarnya paling luas di Dunia setelah Negara Brazil. Di kawasan mangrove kita dapat melihat kehidupan keanekaragaman hayati yang unik. Yang paling gampang, perilaku burung-burung air.
Pada kawasan hutan mangrove maupun paparan lumpur dan sekitarnya ditemukan burung yang dilindungi, di antaranya: cangak abu, kuntul besar, kuntul perak, kuntul kecil, bluwok, bangau tong-tong, camar, raja udang, burung madu, dan elang ikan. Selain burung dilindungi, juga ditemukan jenis burung migran dari belahan bumi utara: trinil, gegajahan dan cerek.
Pada bagian areal mangrove hutan campuran dari Sungai Ujung Alang ke timur hingga Sungai Bengawan ke selatan sampai daerah Jojog dan ke barat mulai Sungai Kembangkuning sampai dekat Motean ditemukan 32 jenis burung dan 13 jenis di antaranya termasuk burung yang dilindungi.
Sayangnya, kawasan Segara Anakan dari tahun ke tahun terus mendapat tekanan. Sebagian besar tekanan itu disebabkan oleh aktivitas manusia. Sebut saja, konversi hutan mangrove menjadi tambak, pencurian kayu mangrove untuk kayu bakar hingga ancaman perburuan burung air menjadi penyebab tersingkirnya beberapa spesies burung air yang ada di sini.
Penebangan kawasan hutan mangrove memang sudah terbukti menyebabkan luas hutan Segara Anakan terus menyusut. Dari 21.000 ha saat ini diperkirakan tinggal 6800 ha saja. Tentu, penyusutan hutan akan berdampak pada kehidupan dan populasi ikan, udang dan biota laut lainnya. Kabarnya, kawasan sisa-sisa hutan mangrove tak lagi menjadi persinggahan burung-burung bangau Australia yang bermigrasi. Pasalnya, sudah terlalu susah untuk mematuk ikan atau udang.


Ekonomi

Ekosistem Segara Anakan yang terdiri dari kawasan hutan mangrove, muara berbagai sungai, dan bentuknya sebagai laguna, sangat kaya nutrien. Itu sebabnya Laguna Segara Anakan kaya akan sumber daya ikan. Lebih dari 45 jenis ikan ada di sana, baik jenis ikan yang menetap seperti ikan prempeng (Apogon aerus) dan yang bermigrasi seperti sidat laut (Anguilla sp).
Sumber daya biota laut lain di perairan ini adalah ikan�ikan kecil yang merupakan mata rantai pangan bagi berbagai jenis ikan di Samudra Hindia. Ada juga larva dan post larva berbagai jenis ikan dan udang di beberapa alur. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara perairan lepas pantai dengan Segara Anakan.
Hasil penelitian Richard Dudley dari Australia tahun 2000 memperlihatkan, potensi ikan dan biota laut di kawasan Segara Anakan terus menurun dibanding tangkapan 10 tahun silam. Kendati demikian, Segara Anakan masih dapat menopang kehidupan warga setempat sebagai sumber mata pencaharian.
Data menunjukan, hingga kini Kecamatan Kampung Laut dihuni oleh 14.407 jiwa pada areal seluas 139,59 ha. Tercatat tidak kurang dari empat desa berada di wilayah yang bila dilihat melalui peta berhimpitan dengan pulau Nusa Kambangan. Yakni Desa Kleces dihuni oleh 1.211 jiwa, desa Panikel terdapat 4.650 jiwa, desa Ujunggalang 4.658 jiwa dan desa Ujunggagak 3.888 jiwa.
Beberapa yang masih potensial antara lain adalah kepiting bakau, yang menurut Dudley nilai jualnya setiap tahun dapat mencapai Rp 3 milyar, atau udang yang hasil tangkapannya senilai Rp 2,625 milyar lebih per tahun, ikan yang mencapai Rp 3,750 milyar per tahun, atau kerang totok senilai Rp 1,875 milyar per tahun. Apabila ditotal nilainya bisa Rp 11,25 milyar. Padahal, 10 tahun lampau nilai hasil tangkapan dari Laguna mencapai 25 juta dollar AS per tahun atau setara dengan Rp 225 milyar saat ini.
Kemudian lembaga independen Amerika Serikat (ECI/Engineering Consultant Incorporation) yang juga meneliti Segara Anakan menyebutkan, 94 persen udang di perairan lepas pantai selatan Pulau Jawa menggunakan Laguna Segara Anakan sebagai tempat pembiakannya.
Konsep paling baru untuk menyelamatkan perairan dan laguna serta kawasan hutan mangrove adalah memindahkan muara Sungai Citanduy. Dengan membuat sudetan sepanjang 3 kilometer, muara sungai yang semula di Perairan Segara Anakan di geser ke Teluk Nusawere di Kabupaten Ciamis. Ini berdasarkan hasil studi yang menyatakan sebaran lumpur dari Citanduy nantinya akan terbuang melebar sejauh satu sampai dua kilometer, paling jauh lima kilometer dari Nusawere.
Pembuatan sudetan Citanduy tidak hanya menyelamatkan Segara Anakan tetapi juga mengurangi genangan banjir, tidak hanya di daerah hilir seperti Sidareja, Patimuan, Wanareja, Karunganten di wilayah Cilacap, tetapi juga puluhan desa di Kabupaten Ciamis.
Banjir akibat luapan Citanduy memang hampir setiap tahun menggenangi belasan desa di wilayah Kecamatan Patarunan, Langensari, Lakbok, Padaherang, dan Kecamatan Kalipucang yang menimbulkan kerugian Rp 15 milyar per tahun. Di Kecamatan Lakbok misalnya, dari areal persawahan seluas 6.014 ha yang merupakan daerah irigasi teknis yang mengandalkan suplai air dari Citanduy, 18 persen atau setara dengan 1.100 ha terkena dampak langsung luapan Citanduy.
Melihat kerugian yang begitu besar, sudetan Citanduy perlu segera direaliasikan. Jika tidak, kerugian lebih besar bakal dialami petani di wilayah Cilacap maupun Ciamis.


Aset Nasional Terancam

Sedimentasi di Segara Anakan tidak hanya menjadi faktor utama penyebab banjir, namun sudah mengancam keberadaan aset nasional kilang PT. Pertamina (Pearsero) UP IV Cilacap serta sejumlah industri lainnya.
Apalagi, proses sedimentasi bukan hanya dari lumpur Citanduy, tetapi juga sejumlah sungai lainnya, antara lain Sungai Cimeneng dan Sungai Cibeureum.
Sedimentasi Segara Anakan tidak hanya menyebabkan banjir, namun juga mengganggu alur pelayaran kapal tanker pemasok minyak mentah (crude oil) ke pelabuhan khusus Pertamina Lomanis Cilacap.
Setiap dua tahun sekali PT. Pertamina (Persero) harus melakukan pengerukan lumpur pada alur tanker hingga ke pelabuhan dalam Bengawan Donan sejauh 3 km. Frekuensi pengerukan diperkirakan akan terus meningkat, mengingat proses sedimentasi semakin cepat.
Setiap tahun, penambahan ketebalan lumpur di alur kapal tanker di area 70 Pertamina UP IV mencapai 75 cm. Artinya, setiap dua tahun endapan lumpur bertumpuk setinggi 1,5 meter. Padahal, tanpa ada pengerukan dapat dipastikan pasokan minyak mentah dari negara Timur Tengah terganggu. Tentu saja Pertamina tidak ingin menuai protes dari International Marine Organization ( IMO ) dan negara pengekspor minyak, sehingga secara berkala harus melakukan pemeliharaan alur dengan pengerukan.
Menurut data dari PT. Pertamina (Persero) Cilacap, pengerukan lumpur terakhir dilaksanakan 2003 dengan volume lumpur yang diangkat mencapai 375.000 m3 dan sekali pengerukan dibutuhkan biaya Rp 4,8 miliar. Dana itu sengaja dianggarkan sebagai biaya operasional, meskipun pengguna perairan area 70 bukan hanya Pertamina tetapi industri lainnya.


Pro dan Kontra

Meskipun upaya penyelamatan ini sudah matang, namun tidak serta merta rencana tersebut dapat dilaksanakan. Tanggapan masyarakat setempat belum semuanya senada. Ada yang setuju ada juga yang tidak. Pasalnya, menurut mereka yang belum seirama berpendapat, memang Segara Anakan bisa diselamatkan, tapi sebaliknya, Teluk Nusawere akan menjadi korban. Nusawere menurut mereka, merupakan daerah tangkapan ikan yang potensial bagi nelayan Ciamis. Masalah ini pun akhirnya meresahkan mereka, kawatir hasil tangkapan ikannya akan berkurang.
Bukan cuma itu, menurut beberapa kalangan anggota DPR-D Ciamis, yang masih keberatan upaya penyodetan ini dilakukan, membayangkan buangan lumpur di mulut sodetan akan terseret sampai ke pantai wisata Pangandaran. Tapi, mungkinkah lumpur itu akan terbawa arus sampai ke pantai Pangandaran yang berjarak 25 km itu?
Apa yang dikhawatirkan oleh sebagian masyarakat ini terlalu jauh, karena lumpur-lumpur itu akan menyebar terkena gelombang lautan bebas yang besar, bahkan akan mengarah ke tengah lautan samudera Hindia itu. Jadi, sangat kecil sekali kemungkinan lumpur-lumpur dari sodetan harus mengembara sampai ke pantai Pangandaran dengan jarak sejauh itu.
Silang pendapat mengenai rencana ini memang masih ada, tetapi pertemuan-pertemuan antara masyarakat, pihak Proyek Citanduy yang akan melaksanakan pekerjaan ini beserta pemda dan pihak DPR-D dari ke dua kabupaten itu terus dilakukan untuk menyamakan persepsi dan mencari titik temu. Meski pihak pemda Ciamispun akhirnya memahami rencana tersebut namun masih ada sebagian kelompok masyarakat yang belum iklas, sehingga kegiatan konstruksi proyek penyelamatan Segara Anakan ini belum bisa dilanjutkan.


Laboratorium Alam

Ekosistem mangrove Segara Anakan yang berpotensi memiliki fungsi sosial ekonomi tinggi ini harus diselamatkan adalah jelas semua pihak setuju. Dengan demikian, kelanjutan siklus kehidupan ikan, udang, kepiting, dan fauna lain pada umumnya, termasuk burung, aneka reptil, dsb., di laguna ini dapat dipertahankan. Sebab, semua itu sangat erat terkait dengan kepentingan atau hajat orang banyak.
Laguna ini merupakan tempat berkembang biak dan tempat membesar atau berkembangnya anak-anak satwa laut itu sebelum kemudian keluar melalui muara laguna ke laut lepas, Samudera Hindia, untuk selanjutnya ditangkap para nelayan. Oleh karena itu, Segara Anakan harus diselamatkan. Hal itu penting buat menunjang keberlanjutan produk perikanan laut setempat yang sangat erat berkaitan langsung dengan kondisi sosial ekonomi nelayan.
Juga, sebagai prasarana transportasi laut antar kecamatan dan pusat-pusat keramaian di tepi barat, selatan, dan timur perairan Segara Anakan. laguna ini adalah sangat vital. Potensi lain laguna ini adalah laboratorium alam bagi para peneliti dalam dan luar negeri dari aneka disiplin ilmu bio-geo-fisik dan sos-ek-bud-kum.
Karena, laguna ini kaya akan aneka fenomena yang dapat dikaji dari sisi salah satu atau bahkan dari sisi terpadu interdisiplin tersebut. Katakanlah, sebagai contoh dari banyak fenomena alami maupun sosial, masalah tanah timbul dapat dipandang sebagai satu fenomenon sosekbudkum yang khusus. Selain juga sebagai bahan kajian yang menarik dari salah satu aspek dinamika kebumian (geodinamika) dan lingkungan yang bisa dikaitkan dengan kajian ekosistem setempat.
Laboratorium alam ini sangat berharga sebagai objek kajian yang tersedia untuk sarana belajar para peneliti muda dan anak-anak sekolah mulai dari para pelajar SD sampai kakak-kakaknya para mahasiswa perguruan tinggi untuk belajar mengamati fenomena geologi lingkungan setempat yang memiliki ciri khas sebagai fenomena khusus dan tidak dijumpai atau langka di wilayah lain.
  http://snetonline.wordpress.com/2010/04/30/sedimentasi-di-segara-anakan-cilacap/






Ancaman Banjir Meluas

Sungai Citanduy yang mengalir di Kota Banjar telah dibelokkan 
di Purwaharja dalam proyek Citanduy Ciwulan. 
Proyek ini bertujuan untuk mengaliri sawah di daerah Langensari. 
Deposit pasir juga ditemukan di beberapa bagian sungai.


Luas perairan Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah, sekarang ini semakin sempit, tinggal 600 hektar dari 4.000 hektar pada tahun 1980-an lalu. Penyempitan itu menyebabkan ancaman banjir tahunan semakin meluas.
Kepala Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Cilacap Mudjiono, Rabu (30/4), mengatakan, sudah setahun ini kawasan banjir tahunan di sekitar Laguna Segara Anakan mulai meluas.
Hingga setahun lalu, kawasan langganan banjir tahunan masih di sekitar Kecamatan Kawunganten dan Sidareja. Namun pada tahun ini mulai mengenai Kecamatan Cipari, Bantarsari, dan Binangun.
Mudjiono mengatakan, fungsi utama dari Laguna Segara Anakan itu sendiri memang untuk menampung limpasan air dari beberapa sungai di Cilacap dan Ciamis, Jawa Barat. Namun dengan laju sedimentasi lumpur yang begitu cepat dari Sungai Citanduy, menyebabkan laguna tak lagi mampu menampung limpasan air dari sejumlah sungai.
Dia memperkirakan jika tak ada penanganan yang serius terhadap penyelamatan Laguna Segara Anakan, dalam 5 tahun ke depan laguna itu akan menjadi daratan. "Dampaknya, kawasan sekitar Segara Anakan hingga hilir Citanduy akan terendam banjir setiap tahunnya," katanya. (MDN)


  http://nasional.kompas.com/read/2008/04/30/14084458/laguna.segara.anakan.menyempit.ancaman.banjir.meluas 






SIDHAT SEGARA ANAKAN 8 - 海的孩子鳗鱼

SIDHAT SEGARA ANAKAN 8 - 海的孩子鳗鱼



Di Ambang Kepunahan, Ikan Sidat Laut di Segara Anakan

Sidat laut yang banyak diburu pemilik restoran Jepang kini di ambang kepunahan. Hal itu dikemukakan oleh staf Pusat Studi Kebijakan Lingkungan (PSKL) Pusaka, Cilacap. Disebutkannya, ikan yang berkembang biak di laut selatan sekitar Segara Anakan itu termasuk dari 45 jenis ikan yang terancam punah.



Kepunahan beberapa jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi terjadi seiring dengan menurunnya kualitas kawasan pembiakan di Laguna Segara Anakan.



Menurut Direktur PSKL Pusaka, Chabibul Barnabas, ada sekira 45 jenis ikan yang terancam punah. Kepunahan ikan-ikan tersebut bukan hanya akibat eksploitasi manusia, namun juga sebagai dampak menurunnya kualitas laguna Segara Anakan. “Dari observasi yang kita lakukan di laguna tersebut, ada kecenderungan sekira 45 jenis ikan itu akan punah,” tutur Chabibul, kemarin.



Menurutnya, ancaman kepunahan ikan-ikan tersebut sudah masuk kategori serius. Hal ini disebabkan laguna tersebut sudah tidak memberikan kenyamanan bagi ikan-ikan untuk berkembang biak.
Untuk mengembalikan keadaan laguna seperti semula, pemerintah diminta segera merealisasikan projek penyodetan Sungai Citanduy yang terkatung-katung selama lima tahun.


Ikan elite

Sejumlah nelayan menyebutkan, ikan sidat bentuknya seperti belut, dan termasuk ikan elite karena harganya sangat mahal. Ikan yang hidup di air tawar menjadi menu favorit restoran Jepang di Jakarta. Harga ikan Sidat mencapai Rp 100.000,00 per porsi.



Rektor Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof. Dr. Rubijanto Misman, mengatakan, kelezatan ikan Sidat terletak pada kandungan lemaknya. Termasuk ikan istimewa, karena sudah menjadi hewan langka dan hanya hidup di daerah tertentu seperti di Segara Anakan Cilacap.



Sayangnya ikan Sidat laut sulit dibudidayakan. Sampai saat ini belum ada upaya untuk penangkaran ikan yang berkembang biak di air payau dan masa dewasanya dihabiskan di bagian hulu sungai. Sulit ditangkarkan, karena ikan ini mengalami beberapa siklus yang cukup unik.



Selama migrasi, menurut Rubijanto, merupakan proses yang paling rawan. Saat itu, tingkat kematian cukup tinggi dan biasanya yang bertahan sampai ikan menjadi dewasa tidak kurang dari 40 persennya. “Untuk itulah ikan Sidat dianggap sebagai hewan yang langka. Kondisi ini diperparah dengan semakin menurunnya kualitas di kawasan Segara Anakan,” kata Rubijanto.




Lumpur Sungai Citanduy

Menyinggung tentang sedimentasi, Chabibul Bernabas mengatakan, sedimentasi yang terjadi di Laguna Segara Anakan sudah sangat parah. Untuk itulah, PSKL Pusaka mendesak pemerintah menyelamatkan Segara Anakan.



“Laguna tersebut kini terancam hilang, akibat tingkat sedimentasi (pendangkalan) yang sangat cepat oleh lumpur yang terbawa Sungai Citanduy serta beberapa sungai kecil lainnya,” tutur Chabibul.



Sedangkan 250.000 meter kubik lainnya dari beberapa sungai kecil yang bermuara di Segara Anakan, antara lain Sungai Cimeneng, Cibeureum, dan Cikonde. “Dampak sedimentasi tidak hanya pendangkalan dan penyempitan laguna, tetapi juga hilangnya potensi ikan, udang serta berbagai jenis biota laut di pesisir selatan Pulau Jawa,” ujarnya.



Selain itu, lanjut dia, sedimentasi telah mengakibatkan terbentuk pulau-pulau kecil di perairan itu. Pulau-pulau tersebut bermunculan secara sporadis di kawasan laguna. Bahkan, ada sebuah pulau yang terbentuk akibat sedimentasi selama 30 tahun lebih dan kini berubah menjadi daratan yang menyatu dengan Pulau Nusakambangan.



Dia mengatakan, sedimentasi yang begitu cepat menunjukkan telah terjadi degradasi lingkungan/ekosistem pada daerah hulu hingga sepanjang daerah aliran Sungai (DAS) Citanduy dan sungai-sungai kecil lainnya. Akibatnya, kualitas dan kuantitas komponen ekosistem, baik hayati maupun nonhayati menurun drastis.




Kampung Laut

Menurut staf peneliti Pusaka, Dahman Aspari, kondisi perairan Segara Anakan saat ini berbeda jauh dibanding Segara Anakan 20 tahun lalu.



Segara Anakan yang sebelumnya mampu menghidupi belasan ribu nelayan di Kampung Laut dan sekitarnya, kini berubah menjadi perairan yang tidak lagi memiliki potensi (kekayaan) seperti aneka jenis ikan dan udang.
(A-99/A-100)



Sumber: Pikiran Rakyat



http://www.agromaret.com/artikel/89/di_ambang_kepunahan_ikan_sidat_laut_di_segara_anakan















RAHANG KERONGKONGAN SIDHAT 5 - 咽颌 - Pharyngeal jaw

RAHANG KERONGKONGAN SIDHAT 5 - 咽颌 - Pharyngeal jaw







 The pharyngeal jaws of the moray eel - 鯙科的咽颌结构


Pharyngeal jaws (咽颌) are a "second set" of jaws contained within an animal's throat, or pharynx, distinct from the primary (oral) jaws. They are believed to have originated as modified gill arches, in much the same way as oral jaws.
Although approximately 30,000 species of fishes are known to have pharyngeal jaws, in many species having their own teeth, the most notable example of animals possessing them is the moray eels of the family Muraenidae. Unlike those in other fishes known to have them, those of the moray are highly mobile. This is possibly a response to their inability to swallow as do other fishes by creating a negative pressure in the mouth, perhaps induced by their restricted environmental niche (burrows). Instead, when the moray bites prey, it first bites normally with its oral jaws, capturing the prey. Immediately thereafter, the pharyngeal jaws are brought forward and bite down on the prey to grip it; they then retract, pulling the prey down the moray eel's gullet, allowing it to be swallowed.

 In fiction

Probably the most famous example of pharyngeal jaws is the fictional extraterrestrial creature from the Alien film series 《 异形 》 called the "Xenomorph". In the films, Xenomorphs are depicted with a secondary, inner set of jaws mounted onto a proboscis inside of the throat, in place of a tongue. This proboscis is shown to rapidly shoot forward with force to attack prey.



Xenomorph (Latin, Internecivus raptus, meaning "Murderous Thief") are endoparasitoid extraterrestrial species with multiple life cycle. http://aliens.wikia.com/wiki/Xenomorph

 References

 External links

  http://en.wikipedia.org/wiki/Pharyngeal_jaw








  



ever see a moray eel (gymnothorax tile) eat?




Moray Eel Eating 1





Moray Eel Eating 2












Radiographs in left lateral view depicting the extreme positions of the pharyngeal jaws in Muraena retifera Goode & Bean, 1882 
during prey transport.


a, Posterior placement of the pharyngeal jaws in relation to the skull. The arrow points to the pharyngeal jaws. b, Pharyngeal jaws in their protracted position. The arrow points to the upper pharyngobranchial. Scale bar for a and b, 1 cm. 


It appears that moray eels have two sets of fanged jaws, one to grab with and one launched from their throats to grasp their squirming victims.

 
海鳗内颚结构





X射线照片显示出海鳗捕食猎物时内颚的状态。当海鳗捕获猎物后,如同叉子一般的隐藏内颚会向前弹出钩住猎物,将其拖入海鳗腹中。



These X-rays of a moray eel’s head reveal a second set of jaws — at rest in the eel’s throat, top, and launched forward, bottom, to seize its food. (Rita Mehta and Candi Stafford/UC Davis)  



http://www.nature.com/nature/journal/v449/n7158/fig_tab/nature06062_F1.html#figure-title
http://scienceblogs.com/pharyngula/2007/09/jaws_of_the_moray.php

http://www.impactlab.net/2007/09/06/moray-eels-attack-with-two-jaws/

http://www.g12e.com/html/5/289/296/303/2007/9/li48802120931970026489-0.shtml

http://ucdavismagazine.ucdavis.edu/issues/win08/end_notes.html

http://gregladen.com/wordpress/?p=1219






The oral gape cycle in relation to the pharyngeal jaw cycle 
in Muraena retifera Goode & Bean, 1882.


After peak oral gape (blue trace), oral jaws make contact with the prey (pink rectangle) by biting. Pharyngeal jaws (red trace) are fully protracted and the recurved teeth on the upper pharyngeal teeth are in contact with the prey. Pharyngeal jaws grip prey and begin retracting prey towards the oesophagus. Prey is pulled into the oesophagus as the moray extends its neurocranium forward and advances its body over the prey while increasing its oral gape, similar to a snake.





http://www.nature.com/nature/journal/v449/n7158/fig_tab/nature06062_F1.html#figure-title 






 Detailed anatomy of the pharyngeal jaw apparatus 
in Muraena retifera Goode & Bean, 1882.


a, Left lateral view of a cleared and alizarin red-stained pharyngeal jaw apparatus, illustrating the sharp, recurved teeth on the pharyngobranchials used to grasp prey. Scale bar, 1 cm. b, Left anterior upper pharyngobranchial revealing highly recurved teeth. Scale bar, 500 micron.



A scanning electron microscope's view of the moray eel's inner toothy jaw. The teeth help grasp prey and drag it toward the moray's gut.










 


FROM BITE TO BELLY 
How does a 12-foot-long eel move food down its throat? 
Sliding rear jaws. After the front jaws bite, 
the rear ones slide up and grab the prey. 
As those retract, the front jaws release. 
The eel then juts its head forward, 
which aids in the swallowing process.


Pulsing mouth, vacant stare, snakelike body: The moray eel truly suggests alien origins. But there’s more. Back behind this giant reef fish’s already toothy maw looms a second set of jaws, which launch from the throat, grab prey from the front teeth, then retreat into the dark tunnel of the eel’s esophagus. It’s the stuff of science fiction. But to scientists studying this unique morphology, it’s a brilliant feeding mechanism for such an elongated creature.


Unlike most bony fishes, morays don’t seem to generate enough suction to help in swallowing, says Rita Mehta of the University of California at Davis. Instead, the novel dual-jaw arrangement, which she and colleagues recently examined with high-speed video, allows the animals to both restrain and transport big prey—the most efficient nourishment for big animals—down the long throat. This is the first report of such a mechanism in a vertebrate. Though on a different branch of the evolutionary tree, snakes have a related system, a set of ratcheting jaws that grip and maneuver food into the gullet. Says Mehta, “It’s a wonderful example of convergence”—when distant organisms facing the same problem develop similar solutions.  —Jennifer S. Holland
Art: Raúl Martín









Functional morphological model of pharyngeal jaw movement 
in Muraena retifera Goode & Bean, 1882.


The left dentary has been removed in ac, and the left maxilla has been removed in b and c. a, Pharyngeal jaw apparatus at rest. b, Pharyngeal jaw protracted: the levator internus (LI) and levator externus (LE) protract the upper jaw into the oral cavity, whereas the rectus communis (RC) protracts the lower jaw. During protraction, the upper pharyngobranchial is dorsally rotated by contraction of the LI and the obliqus dorsalis (OD). c, After prey contact, the adductor (AD) contracts to bring the upper and lower jaws together to deliver a second bite. The dorsal retractor (DR) and pharyngocleitheralis (PHC) retract the pharyngeal jaws back to their resting position behind the skull. Scale bar, 1 cm.
http://scienceblogs.com/pharyngula/2007/09/jaws_of_the_moray.php 

http://gregladen.com/wordpress/?p=1219