Sabtu, 14 Mei 2011

SIDHAT SEGARA ANAKAN 7 - 海的孩子鳗鱼

SIDHAT SEGARA ANAKAN 7 - 海的孩子鳗鱼



BPPT Sosialisasikan Program Difusi Teknologi

Pemeliharaan Benih Sidat Segara Anakan

Kawasan Segara Anakan merupakan ekosistem unik bagi siklus hidup ikan sidat untuk tumbuh dan berkembang.
Namun terjadinya sedimentasi di laguna Segara Anakan menyebabkan terganggunya populasi biota perairan termasuk ikan sidat, sehingga perlu dilakukan konservasi agar tidak terjadi kelangkaan.
Melihat kondisi tersebut, Pemerintah Kabupaten Cilacap bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), mengadakan Sosialisasi Program Difusi Teknologi Pembesaran Benih Ikan Sidat Kawasan Segara Anakan, Selasa (11/5) di Kantor Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan.
BPPT digandeng Pemkab Cilacap, karena telah berhasil membuat paket teknologi pembenihan dan pemeliharaan ikan sidat ukuran 50 gram dengan bahan baku pakan dari material lokal yang mudah didapat dan murah. Teknologi inilah yang akan diterapkan di Kawasan Segara Anakan tepatnya di Desa Panikel Kecamatan Kampung Laut.
       Selain mengadaan Sosialisasi, Program Difusi Teknologi Pembesaran Benih Ikan Sidat juga akan melatih pegawai atau tenaga lapangan yang nantinya akan memantau atau mengawasi kegiatan lapangan secara berkelanjutan; serta Penyiapan Bangunan Pusat benih Ikan Sidat di Desa Panikel Kecamatan Kampung Laut.
       Kegiatan sosialisasi rencananya akan menghadirkan pembicara dari BPPT, antara lain Dr. Odilia Rovara, M.Si yang akan menyampaikan materi Mengenal Sumberdaya Ikan Sidat; Ir. Iwan Eka Setiawan, M.Si dengan materi Peluang Usaha Sumberdaya Ikan Sidat di Kawasan Segara Anakan; dan Ir. Dedy Yaniharto, M.Sc yang akan menyampaikan materi Tahapan Program Difusi Alih Teknologi Pemeliharaan Benih Ikan Sidat Teradaptasi di Segara Anakan. (vb)

http://humascilacap.info/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=1290         



Ikan Sidat Laut di Segara Anakan

Di Ambang Kepunahan

Sidat laut yang banyak diburu pemilik restoran Jepang kini di ambang kepunahan. Hal itu dikemukakan oleh staf Pusat Studi Kebijakan Lingkungan (PSKL) Pusaka, Cilacap. Disebutkannya, ikan yang berkembang biak di laut selatan sekitar Segara Anakan itu termasuk dari 45 jenis ikan yang terancam punah.

Kepunahan beberapa jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi terjadi seiring dengan menurunnya kualitas kawasan pembiakan di Laguna Segara Anakan.

Menurut Direktur PSKL Pusaka, Chabibul Barnabas, ada sekira 45 jenis ikan yang terancam punah. Kepunahan ikan-ikan tersebut bukan hanya akibat eksploitasi manusia, namun juga sebagai dampak menurunnya kualitas laguna Segara Anakan. “Dari observasi yang kita lakukan di laguna tersebut, ada kecenderungan sekira 45 jenis ikan itu akan punah,” tutur Chabibul, kemarin.

Menurutnya, ancaman kepunahan ikan-ikan tersebut sudah masuk kategori serius. Hal ini disebabkan laguna tersebut sudah tidak memberikan kenyamanan bagi ikan-ikan untuk berkembang biak.

Untuk mengembalikan keadaan laguna seperti semula, pemerintah diminta segera merealisasikan projek penyodetan Sungai Citanduy yang terkatung-katung selama lima tahun.

Ikan elite

Sejumlah nelayan menyebutkan, ikan sidat bentuknya seperti belut, dan termasuk ikan elite karena harganya sangat mahal. Ikan yang hidup di air tawar menjadi menu favorit restoran Jepang di Jakarta. Harga ikan Sidat mencapai Rp 100.000,00 per porsi.

Rektor Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof. Dr. Rubijanto Misman, mengatakan, kelezatan ikan Sidat terletak pada kandungan lemaknya. Termasuk ikan istimewa, karena sudah menjadi hewan langka dan hanya hidup di daerah tertentu seperti di Segara Anakan Cilacap.

Sayangnya ikan Sidat laut sulit dibudidayakan. Sampai saat ini belum ada upaya untuk penangkaran ikan yang berkembang biak di air payau dan masa dewasanya dihabiskan di bagian hulu sungai. Sulit ditangkarkan, karena ikan ini mengalami beberapa siklus yang cukup unik.

Selama migrasi, menurut Rubijanto, merupakan proses yang paling rawan. Saat itu, tingkat kematian cukup tinggi dan biasanya yang bertahan sampai ikan menjadi dewasa tidak kurang dari 40 persennya. “Untuk itulah ikan Sidat dianggap sebagai hewan yang langka. Kondisi ini diperparah dengan semakin menurunnya kualitas di kawasan Segara Anakan,” kata Rubijanto.

Lumpur Sungai Citanduy

Menyinggung tentang sedimentasi, Chabibul Bernabas mengatakan, sedimentasi yang terjadi di Laguna Segara Anakan sudah sangat parah. Untuk itulah, PSKL Pusaka mendesak pemerintah menyelamatkan Segara Anakan.

“Laguna tersebut kini terancam hilang, akibat tingkat sedimentasi (pendangkalan) yang sangat cepat oleh lumpur yang terbawa Sungai Citanduy serta beberapa sungai kecil lainnya,” tutur Chabibul.

Sedangkan 250.000 meter kubik lainnya dari beberapa sungai kecil yang bermuara di Segara Anakan, antara lain Sungai Cimeneng, Cibeureum, dan Cikonde. “Dampak sedimentasi tidak hanya pendangkalan dan penyempitan laguna, tetapi juga hilangnya potensi ikan, udang serta berbagai jenis biota laut di pesisir selatan Pulau Jawa,” ujarnya.

Selain itu, lanjut dia, sedimentasi telah mengakibatkan terbentuk pulau-pulau kecil di perairan itu. Pulau-pulau tersebut bermunculan secara sporadis di kawasan laguna. Bahkan, ada sebuah pulau yang terbentuk akibat sedimentasi selama 30 tahun lebih dan kini berubah menjadi daratan yang menyatu dengan Pulau Nusakambangan.

Dia mengatakan, sedimentasi yang begitu cepat menunjukkan telah terjadi degradasi lingkungan/ekosistem pada daerah hulu hingga sepanjang daerah aliran Sungai (DAS) Citanduy dan sungai-sungai kecil lainnya. Akibatnya, kualitas dan kuantitas komponen ekosistem, baik hayati maupun nonhayati menurun drastis.

Kampung Laut

Menurut staf peneliti Pusaka, Dahman Aspari, kondisi perairan Segara Anakan saat ini berbeda jauh dibanding Segara Anakan 20 tahun lalu.

Segara Anakan yang sebelumnya mampu menghidupi belasan ribu nelayan di Kampung Laut dan sekitarnya, kini berubah menjadi perairan yang tidak lagi memiliki potensi (kekayaan) seperti aneka jenis ikan dan udang..
(A-99/A-100)

Sumber: Pikiran Rakyat

http://www.agromaret.com/artikel/89/di_ambang_kepunahan_ikan_sidat_laut_di_segara_anakan          

Panikel adalah sebuah desa di kecamatan 
Kawunganten, Cilacap, Jawa Tengah, Indonesia.


Desa Panikel Cilacap Jadi

Percontohan Budidaya Sidat


Desa Panikel, Cilacap dijadikan lokasi percontohan pemeliharaan benih ikan sidat, ikan yang pasarnya di dunia mencapai ratusan ribu ton per tahun dan Indonesia sangat potensial menjadi pemasok.

"Potensial tapi belum dikenal masyarakat," kata peneliti kelautan dari BPPT Iwan Eka Setiawan pada sosialisasi Kegiatan Program Difusi Teknologi Pemeliharaan Benih Ikan Sidat Teradaptasi di Cilacap, Selasa.

Potensi besar itu, ujarnya, karena ikan sidat (Anguilla sp) membutuhkan lokasi laut dalam untuk bertelur, di sisi lain juga membutuhkan air payau dan tawar ketika tumbuh dewasa sehingga sangat cocok dengan kondisi alam maritim Indonesia.

"Khususnya di sepanjang pantai selatan Jawa, pantai barat Sumatra, pesisir Sulawesi dan perairan Ambon, tempat penyebaran 12 dari 18 spesies ikan sidat yang ada di dunia," katanya.

Salah satu lokasi yang dinilai cocok dijadikan kawasan budidaya ikan sidat, menurut dia, adalah kawasan laguna Segara Anakan, Kabupaten Cilacap dengan jenis unggulan Anguilla bicolor yang mirip dengan spesies Anguilla japonica yang sangat disukai di Jepang.

Jepang, menurut peneliti aquakultur BPPT Dedy Yaniharto, merupakan konsumen ikan sidat terbesar dunia, setiap tahunnya membutuhkan 150 ribu ton dari 250 ribu ton kebutuhan dunia, padahal produksi negara sakura itu hanya 21 ribu ton per tahun.

Ia menyesalkan nelayan Indonesia belum mengenal nilai ekonomi ikan yang bentuknya seperti ular ini sehingga hanya menjualnya saat ikan ini masih berbentuk glass eel dan elver yang masih sebesar korek api dan sangat murah.

"Kalau sudah berbentuk ikan sidat dewasa yang ukuran di atas 100 gram, di Jepang harganya bisa Rp90 ribu satu porsi atau seekornya," katanya sambil menambahkan sudah banyak investor Jepang dan China yang berminat.

Sementara itu peneliti biologi BPPT Dr. Odilia Rovara menambahkan, budidaya ikan sidat perlu digencarkan, mulai pendederan hingga pembesaran, untuk mengembangkan potensi daerah dan menambah pendapatan nelayan. (T.D009/B/Z003/Z003) h

http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=28852           




SIDHAT SEGARA ANAKAN 6 - 海的孩子鳗鱼

SIDHAT SEGARA ANAKAN 6 - 海的孩子鳗鱼


Segara Anakan: 

Inkubator Ikan yang Mendangkal


 

Selama 100 tahun, 90% luasan Segara Anakan hilang dan menjadi daratan.

Siang itu, pelabuhan penyeberangan Seleko - Cilacap yang menurut petugas ASDP setempat biasanya sepi, terlihat ramai. Bersama rombongan Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia itu, TROBOS akan mengunjungi kawasan Segara Anakan (Jawa: lautan mini), sistem laguna terbesar di dunia yang kini nasibnya di ambang kehancuran karena sedimentasi. Belasan perahu nelayan pun disewa, ditambah satu perahu karet dari Polair. Tak lama kemudian deru mesin-mesin tempel 5,5 pk bersahutan.
Perahu-perahu itu pun berbaris, membelah teluk kecil dan memasuki jalur Kembang Kuning menuju Segara Anakan. Untuk diketahui, Segara Anakan ini telah terkenal jauh sebelum republik ini berdiri. Karena luasnya, orang Jawa sejak dulu memiliki ungkapan "ambane sasegara anakan" (luasnya sama dengan segara anakan) untuk menggambarkan luasnya suatu area. Pesona keindahan dan kekayaan alamnya (ikan) telah diabadikan penjajah Belanda ke dalam kartu-kartu pos yang diterbitkannya sejak akhir abad 19.
Tigaperempat jam kemudian, sampailah kami di sela-sela pulau mangrove. "Segaranya mana ?? " tanya seorang peserta kepada Dikin (40 th) pengemudi perahu. Ia pun menjawab,"Ya ini, segara anakan. Kita beruntung karena air sedang pasang sehingga bisa lewat. Kalau surut, perahu pasti kandas !?". Lho ?

Nilai Segara Anakan

Menurut Sukoco, Kasie Prasarana Wilayah Bappeda Jateng, kekayaan alam Segara Anakan hingga kini telah menghidupi lebih dari 14000 penduduk lokal yang tinggal disekitarnya, baik berupa potensi perikanan, eko-wisata, laboratorium alam, transportasi air, maupun mangrove. Hutan mangrove di kawasan ini mencapai 5000 ha Kawasan ini juga berfungsi sebagai buffer zone dan tampungan air.
Mengingat besarnya nilai Segara Anakan, pemerintah Kabupaten Cilacap kemudian membentuk Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA). Sebelumnya, pengelolaan dilakukan oleh Segara Anakan Conservation and Development Project (SACDP) yang bekerjasama dengan peneliti-peneliti dari Jepang, Jerman, dan Amerika.

Inkubator Perikanan

Segara Anakan pantas mendapatkan julukan sebagai inkubator perikanan laut selatan Jawa karena di sanalah tempat bertelur dan berkembang ikan dan udang. Buktinya, dialur bagian barat dan timur kawasan ditemukan sejumlah besar larva dan post larva ikan dan udang. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan siklus hidup antara ikan samudera dan laguna Segara Anakan. Contohnya, ikan Sidat yang biasa bermigrasi hingga samudra lain, ternyata ditemukan memijah di sini.
Ekosistem Segara Anakan terdiri dari perairan payau dan mangrove sehingga mampu menyediakan makanan dan kehidupan bagi ikan. Kawasan ini menjadi tempat berkembang 45 jenis ikan, baik ikan asli maupun migran. Biota asli Segara Anakan antara lain udang Jari (Penaeus elegans), ikan Boso, udang Putih (P. merguiensis), dan udang  Jerbung / Tiger (P. monodon). Selain itu, terdapat ikan-ikan kecil yang menjadi mata rantai jejaring kehidupan ikan-ikan besar di Samudera Hindia.

Sedimentasi

Tapi sayangnnya, keindahan-keindahan yang tergambar itu menyimpan sebuah fakta yang memiriskan hati. Lembaga-lembaga kelestarian lingkungan hidup dunia kini tengah resah terhadap laju sedimentasi Segara Anakan (SA) yang tak terkendali. Menurut Ir Tri Nurcahyo, konsultan SACDP, mereka menganggap SA merupakan aset ilmu pengetahuan dan lingkungan yang tak ada duanya. Pada 1984, pulau di tengah Segara Anakan hanya ada 5. Namun 10 tahun kemudian telah menjadi 12 buah. "Selama 100 tahun, 90% luasan Segara Anakan telah hilang dan menjadi daratan," katanya. Pada 1984, luas perairan Segara Anakan masih 2.905 ha, dan turun menjadi 2.803 pada 1985. Pada 2002, luasnya hanya tinggal 600 ha, sekarang tinggal 400 ha dengan kedalamannya hanya 1,5 m saat air surut sehingga mengkandaskan perahu yang melintas. "Bahkan jarak antara Pulau jawa dengan Nusakambangan yang dulu 2,5 km, kini tinggal 160 m, sehingga menimbulkan kerawanan, baik bagi perikanan maupun keamanan," tandas Nurcahyo.
Diperkirakan laju sedimentasi di catchment area sungai Citanduy (sungai yang bermuara di Segara Anakan) 5 juta m3 / tahun, dan diendapkan di Segara Anakan sebesar 740 ribu m3. Sungai Cibeureum juga mengendapkan 260 ribu m3 /th dari 770 ribu m3 sedimen yang digelontornya. Dalam sehari, sedimen yang dibawa kedua sungai itu mencapai 4000 m3 saat kemarau, dan melonjak hingga 12.000 m3 di musim hujan.
Satu-satunya cara yang efektif untuk menanggulangi sedimentasi ini adalah dengan membuat sudetan sungai Citanduy sepanjang 3 km agar sedimen tidak masuk Segara Anakan, dibarengi dengan rehabilitasi hutan sepanjang DAS Citanduy. Namun, cara ini ditentang keras oleh masyarakat Ciamis (Jabar) yang khawatir hal itu akan merusak Pantai Pangandaran. Menurut Nurcahyo, sebenarnya kekhawatiran itu tak beralasan karena berdasar pengalaman selama ini, porsi terbesar sedimen justru terbuang ke laut lepas. "Padahal, sebagian ikan-ikan di sana kan rantai hidupnya juga dari Segara Anakan. Tapi mereka menentang upaya penyelamatannya" sesalnya.
  http://www.trobos.com/show_article.php?rid=14&aid=535     



 

Kampung Laut Pun

Jadi Kampung Darat

SEPERTI umumnya rumah nelayan di kampung laut, tempat tinggal Sutawa di Dusun Karanganyar, Desa Ujungalang, yang berada di wilayah Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah, merupakan rumah panggung yang amat sederhana.Sebagian dinding terbuat dari anyaman bambu yang biasa disebut gedhek, bagian lainnya papan kayu albasia. Rumah itu ditopang tiang–tiang dari batang kayu tancang.

Di salah satu tiang yang kokoh menancap di dasar laut, seutas tali mengikat kuat sebuah perahu jukung yang khas nelayan tradisional kawasan ini.Dengan perahu itu Sutawa setiap hari menangkap ikan. Ia tidak perlu jauh-jauh mendayung perahu jukungnya, karena di Perairan Segara Anakan ikan dan udang sangat melimpah. Sekali melaut ia dapat menangkap 25-50 kilogram. Malah pada musim angin barat untuk memperoleh satu kuintal ikan tidaklah sulit.

Tapi itu cerita tempo doeloe, ketika Laguna Segara Anakan masih luas dan dalam. Saat itu Segara Anakan jadi habitat ikan, udang, kerang totok, kepiting, dan biota laut lainnya. Ketika perkampungan nelayan di sana masih berupa rumah –rumah panggung di atas laut. Ketika itu, hutan mangrove juga belum ditebangi untuk dijadikan kayu bakar atau perangkat rumah.

Kini laguna telah menyempit. "Airnya cethek (dangkal). Sekarang jika melaut harus benar-benar memperhitungkan waktu. Harus tahu kapan air pasang dan kapan surut. Salah perhitungan berarti harus bekerja keras menyeret perahu pulang. "Kalau lagi surut, kedalaman Segara Anakan hanya berkisar 0,5-0,75 meter," ujar Kenci (51) kepada Kompas.

DI Segara Anakan terdapat empat desa kampung laut. Masing–masing Desa Ujungalang tempat tinggal Sutawa, Ujunggagak dan Panikel di Kecamatan Kawunganten, serta Desa Pamotan di Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Total penduduk kampung laut tidak kurang dari 14.000 jiwa. Desa-desa ini dikelilingi perairan dan hutan mangrove. Namun, rumah mereka yang dulu berupa rumah panggung di atas laut sekarang sudah hampir tidak dijumpai lagi. Meskipun demikian, julukan kampung laut tetap melekat. Perairan terus menyusut dan berubah menjadi daratan akibat endapan lumpur dari Sungai Citanduy dan sungai–sungai lain.
Bangunan–bangunan rumah pun berubah sejalan dengan bertambahnya tanah timbul (daratan). Dari rumah panggung kayu tancang menjadi rumah berdinding tembok dengan lantai keramik. Sebagian perumahan penduduk telah diterangi listrik tenaga surya. Lambat laut rumah papan mulai menghilang.

Sebagian penduduk berpindah pekerjaan dari nelayan menjadi petani, menggarap tanah-tanah timbul yang terus bertambah. Sebagian lainnya mencoba bertahan jadi nelayan.
Namun, belasan tahun terakhir semakin sulit mendapat tangkapan. "Untuk membawa dua hingga tiga kilo ikan kecil susahnya bukan main," tutur Kasan (43) warga Kampung Motean, Desa Panikel.
Bahkan, pada musim panen nelayan hanya dapat memperoleh tangkapan 25-30 kilogram ikaN.

Saat ini sebagian nelayan mengandalkan kepiting bakau sebagai tangkapan karena di pasaran harganya lumayan menggiurkan: Rp 25.000-Rp 30.000 per kilogram. Namun, kepiting bakau Segara Anakan mulai menyusut karena hutan mangrove habitat mereka ditebangi penduduk.
Sebenarnya kepiting tidak menghabiskan seluruh hidupnya di kawasan mangrove. Ia bertelur di lepas pantai. Setelah menetas, larva-larvanya menuju ke samudra. Tapi setelah tumbuh menjadi kepiting dewasa, ia memerlukan hutan bakau.
Kepiting-kepiting kecil itulah yang ditangkap nelayan, sehingga kepiting bakau lama kelamaan lenyap. Terlebih setelah kawasan hutan mangrove rusak dan Perairan Segara Anakan berubah jadi daratan akibat endapan lumpur.

Hilangnya hutan bakau juga mengurangi populasi ikan, udang, dan biota laut lainnya. Kawasan sisa-sisa hutan mangrove itu tidak lagi menjadi persinggahan burung bangau Australia yang akan bermigrasi, karena sudah sulit mematuk ikan atau udang.

Hasil survei yang dilakukan tahun 1980-an menunjukkan, di Segara Anakan terdapat 26 jenis tumbuhan mangrove dengan tiga jenis vegetasi (tumbuhan). Yang paling dominan adalah jenis api-api, bakau, dan tancang (Bruguiera gymnonthiza) yang sering dimanfaatkan penduduk untuk kerangka bangunan rumah panggung.

Mangrove memang merupakan ekosistem paling produktif di antara komunitas laut. Daun-daunnya yang rontok ke air dan kemudian melapuk merupakan tempat mencari makan serta tempat pemijahan berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut bernilai ekonomi tinggi. Kawasan ini berperan besar terhadap tingginya hasil perikanan di Laguna Segara Anakan.

Laguna yang saat ini luasnya tinggal 600 ha, pernah menyumbang tujuh persen dari total produksi udang di Perairan Cilacap. Tahun 1990 misalnya, hasil tangkapan udang dari Segara Anakan berkisar 830-an ton. Namun, tahun-tahun terakhir untuk mencapai angka 25 ton saja amatlah sulit.

PERUSAKAN hutan mangrove sudah berlangsung lama dan meningkat tajam pertengahan 1980-an. Penyusutan hutan ini secara signifikan diikuti penurunan hasil tangkapan ikan dan udang.
Perusakan hutan bakau tahun 1984 oleh penduduk di kampung laut tanpa disadari telah menyebabkan malapetaka dengan berjangkitnya penyakit malaria. Kejadian itu menelan korban 107 jiwa warga kampung laut, dan sekitar 345 orang lainnya dirawat di rumah sakit.
Penebangan kawasan hutan mangrove menyebabkan luas hutan ini terus menyusut. Hutan mangrove yang luasnya pernah mencapai 21.000 ha lebih kini diperkirakan hanya seluas 1.200 ha.

Bersamaan dengan menyusutnya hutan mangrove, perairan Segara Anakan ikut menyempit karena sedimentasi dari beberapa sungai yang bermuara di situ. Tak ada lagi mangrove yang menghambat sedimentasi, sehingga pendangkalan berlangsung amat cepat.
Citanduy misalnya, setiap tahun menyumbang sedikitnya 6,4 juta ton sedimen. Ini ditambah 1,5 juta ton sedimen dari Sungai Cimeneng. Erosi dari hutan Daerah Aliran Sungai Citanduy saat ini masuk kategori "berat dan sangat berat".
Menumpuknya sedimen Citanduy dan beberapa sungai lain selama bertahun-tahun mendangkalkan dan menyempitkan perairan. Dulu kedalaman Segara Anakan 8-10 meter, sekarang tak lebih dari 1,25 meter.

Tahun 1903 luas Segara Anakan masih 6.450 ha, tapi tahun 1998 luasnya tinggal 1.400 ha. Menurut citra satelit yang terekam September 2002, luasnya tinggal 600 ha.
Laguna Segara Anakan tinggal menunggu lenyap saja dari peta Kabupaten Cilacap. Tanpa upaya penyelamatan, dua-tiga tahun ke depan Laguna tersebut tinggal alur-alur sungai saja.
 
http://www.baksokubukanbaksomu.co.cc/2009/12/friday-september-29-2006-kampung-laut.html       


 

Segara Anakan, Cilacap:

Nikmati Laguna Nan Unik


Banyak daerah di Indonesia yang memiliki wilayah yang luas, namun tidak memiliki banyak obyek wisata. Cilacap adalah Kabupaten dengan wilayah paling luas di propinsi Jawa Tengah. Hanya saja nama penjara Nusa Kambangan sudah kepalang basah mencitrakan daerah ini sebagian daerah napi. Padahal ada kawasan Segara Anakan, sebuah hutan bakau yang luas yang menggoda siapa saja yang ingin menikmati petualangan bahari.

Segara Anakan adalah kawasan laguna unik seluas 40 ribu hektar di Pantai Selatan Pulau Jawa. Tidak hanya hutan bakau dengan keberagaman flora dan fauna, Segara Anakan menjadi tempat menarik bagi para nelayan yang tinggal di kampung ini. Serta gua yang dipercaya menjadi tempat tinggal para makhluk gaib.

Pelabuhan Sleko adalah gerbang utama, untuk memasuki kawasan wisata Segara Anakan. Segara Anakan guna dibagian belakang Pulau Nusa Kambangan dan untuk mencapainya bisa menggunakan perahu nelayan kecil atau compreng, yang tarifnya 50 hingga 100 ribu rupiah per orang.

Perjalanan sekitar 3 jam dari hulu hingga ke hilir. Hutan bakau mulai terlihat ketika memasuki sungai kecil. Disini laju perahu harus diperlambat agar tidak menabrak jajaran pohon bakau yang tumbuh dengan lebatnya. Hutan bakau tertata dengan rapi di area yang begitu luas, sekitar 9000 hektar.

Tidak jelas sejak kapan ada pemukiman nelayan di kawasan pesisir Segara Anakan. Jajaran perumahan sederhana yang berdiri tegak ini adalah pemukiman penduduk asli. Di kawasan ini yang namanya lebih dikenal dengan nama Kampung Laut, cukup sulit untuk menjangkaunya karena letaknya sangat terpencil.

Kami merapat di Kampung Laut, ujung Aru. Kesan terpencil begitu terasa. Kampung sangat sepi. Ada 3 desa di kampung ini. Bagi penduduk disini, Segara Anakan ibarat sepasang kekasih yang tidak bisa dipisahkan dengan Kampung Laut. Penduduk disini sangat bergantung dengan laguna, yang menjadi sumber kehidupan mereka.

Bila laguna ini tidak diselamatkan dari proses pendangkalan, maka sama saja kiamat bagi mereka. Kami bertemu dengan salah satu penduduk disini bernama Yani, yang tinggal bersama putranya, Ujang. Hidup mereka bergantung dari kepiting bakau, yang banyak hidup dikawasan ini.

Mereka biasanya mulai mengumpulkan dan melihat hasilnya pada malam hari. Mereka menjualnya hingga ke kota-kota besar seperti Semarang dan Jakarta. Harganya sekitar 40 hingga 50 ribu rupiah per kiloan dan menjadi 2 kali lipat bila kita menyantapnya di restaurant.

Hidup matinya Kampung Laut tergantung dari kepiting bakau, yang hidup disini. Mereka berharap harganya akan terus membaik di pasar. Yang barangkali mereka tidak tahu adalah sampai kapan kepiting ini beranak pinak, bila lingkungan kawasan Segara Anakan kian terancam.

Kampung Laut bukan akhir dari cerita tentang Segara Anakan. Sebagian kawasan ini masih diselimuti hal-hal yang gaib. Bagi sebagian orang yang pernah datang ke tempat ini. Di kawasan ini terdapat gua yang bernama Masigitsela, yang letaknya di kaki bukit Pulau Nusakambangan.

http://www.obrolin.com/archive/index.php/t-27884.html        






SIDHAT SEGARA ANAKAN 5 - 海的孩子鳗鱼

SIDHAT SEGARA ANAKAN 5 - 海的孩子鳗鱼


Wisata Segara Anakan

Perlu Sentuhan

Sunarto 

Sebagian wisatawan mancanegara yang biasanya hanya ”numpang lewat” di kawasan laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah 


CILACAP – Kami hanya dapat geleng-geleng kepala dan mengelus dada. Keprihatinan ini adalah buah yang bisa dipetik dari kunjungan singkat ke Segara Anakan. Laguna unik yang kaya biota hayati ini secara administratif terletak di perbatasan antara Kabupaten Ciamis Jawa Barat dengan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.

Dengan dominasi hutan mangrove dan kekayaan fauna yang dimiliki, Segara Anakan berpotensi sebagai lokasi wisata andalan di masa depan. Sayang, belum ada sentuhan berarti di dalamnya.
”Habis, mau bagaimana ya, untuk mengembangkannya kami harus berkoordinasi dengan pihak terkait, terutama dengan Dinas Pariwisata Pemda Cilacap. Sampai sekarang sepertinya belum dapat tanggapan serius,” ungkap Asifudin, camat Kampung Laut, dalam sebuah obrolan santai beberapa waktu lalu. Jawaban itu menyiratkan keputus-asaan. Maklum, potensi ada di depan mata tetapi tak ada pasokan ”tenaga”.
Asifudin pun setuju - bila dikembangkan potensi wisata Segara Anakan dan sekitarnya mampu memberikan kontribusi yang tak sedikit bagi kas daerah. ”Paling tidak, dapat menggerakkan perekonomian masyarakat lokal,” harapnya. Saat ini, dalam setahun operasional kecamatan paling sedikit menghabiskan dana sekitar Rp 50 juta, sedang anggaran yang tersedia nilai kira-kira hanya Rp 34 juta saja. Tentu, bila ada pemasukan dari sektor pariwisata, beban tombokan itu terasa ringan.
Keluhan Asifudin terasa makin pas di sela-sela obrolan santai kami beberapa kali sempat melihat kapal motor (penduduk menyebutnya compreng) yang membawa rombongan wisatawan asing melintas di depan kantor kecamatan. Obrolan pun terhenti beberapa saat, kami sama-sama menatap kapal motor yang lewat itu.
Saat melintas, para turis itu terlihat begitu menikmati pemandangan alam sekitar. Beberapa di antaranya, kelihatan sibuk dengan alat-alat perekam gambar, entah itu kamera digital atau kamera video. Melakukan penyusuran sungai dengan menikmati lansekap kampung nelayan serta meliuk-liuk di antara kelebatan mangrove boleh jadi sebuah pengalaman langka bagi mereka.
”Wah, sayang ya turis-turis itu cuma numpang lewat begitu saja. Padahal, mereka bisa ditawarkan untuk ikut paket wisata di sini, atau mampir sekadar membeli souvenir ya,” celetuk salah seorang anggota Sahabat Burung Indonesia (SBI) yang ikut mengobrol.

Wisata Burung

 Kawasan mangrove yang ada di wilayah laguna Segara Anakan bisa jadi modal penting dalam pengembangan jalur wisata. Menjual paket wisata dengan berkeliling kawasan ini tentu bakalan menarik minat wisatawan. Apalagi, berdasar catatan, kawasan mangrove di tanah Jawa sudah semakin langka dan di sini – kabarnya paling luas di Jawa – kita dapat melihat kehidupan keanekaragaman hayati yang unik. Yang paling gampang, perilaku burung-burung air.
Dari hasil pengamatan Arif Prakoso dari Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Insititut Pertanian Bogor pada kawasan mangrove – hutan maupun paparan lumpur dan sekitarnya – ditemukan 17 burung yang dilindungi, di antaranya: cangak abu, kuntul besar, kuntul perak, kuntul kecil, bluwok, bangau tong-tong, camar, raja udang, burung madu, dan elang ikan. Selain burung dilindungi, juga ditemukan jenis burung migran dari belahan bumi utara: trinil, gegajahan dan cerek.
Pada bagian areal mangrove hutan campuran – dari Sungai Ujung Alang ke timur hingga Sungai Bengawan ke selatan sampai daerah Jojog dan ke barat mulai Sungai Kembangkuning sampai dekat Motean ditemukan 32 jenis burung – 13 jenis di antaranya termasuk burung yang dilindungi.
Di mancanegara, mengamati burung telah masuk dalam kemasan wisata yang ditawarkan kepada tiap wisatawan alam. Negara kita memang belum melakukan hal seperti itu. Namun, beberapa pihak sudah mulai mencobanya. Ambil contoh, penawaran paket wisata pengamatan burung di Segara Anakan – Nusa Kambangan yang digelar SBI dan BirdLife Indonesia pada awal Juli lalu.
Hasilnya, positif. Seluruh peserta merasa ketagihan dan ingin balik lagi ke tempat ini. Yang cukup ironis, kabarnya kegiatan ini masih harus disubsidi lantaran jumlah pesertanya gagal memenuhi target. ”Dengan begini, kami berharap adanya sistem getok tular untuk mempromosikan wisata Segara Anakan,” sebut Krisnarto – salah seorang anggota gaek SBI. Boleh jadi, harus ada sinergi strategi antara pemerintah Kabupaten Cilacap bersama para pemangku kepentingan yang peduli dengan wisata Segara Anakan.

Rencana Wisata

Sebetulnya Pemerintah Kabupaten Cilacap sudah menyusun rencana pengembangan tujuan wisata untuk wilayah Segara Anakan. Bila merujuk buku ”Rencana Pola Pengembangan Pariwisata Kabupaten Cilacap”, laguna yang kini ditimpa masalah pendangkalan dan penyempitan perairan ini termasuk dalam wilayah khusus.
Pemerintah Kabupaten Cilacap membagi lima wilayah untuk mengembangkan tujuan wisata pada daerah Segara Anakan. Wilayah I meliputi Kota Administratif Cilacap yang merupakan pusat berbagai kegiatan, di samping sebagai ibu kota kabupaten, kota industri dan pelabuhan, serta kota pusat pelayanan wisata. Wilayah II, ini meliputi wilayah pembantu bupati Kroya. Potensi kepariwisataan yang ada cukup mendukung, antara lain gunung Selok/Srandil, dan pantai Jetis, di samping itu terdapat berbagai kegiatan seperti batik dan kerajinan bambu. Wilayah ini juga dilalui jalur wisata Cilacap, Jatijajar-Gombong, di mana di wilayah tersebut terdapat objek wisata yang potensial.
Untuk Wilayah III, meliputi wilayah pembantu bupati Majenang. Wilayah ini merupakan jalur pengembangan arus wisatawan dari Jawa Barat ke Jawa Tengah yang peranannya sangat penting dalam rangka meningkatkan arus kunjungan wisatawan ke Cilacap dan daerah lain sekitarnya. Daya dukung wilayah tersebut berupa fasilitas kepariwisataan yang cukup memadai terdapat pada objek wisata Rawa Badak dan fasilitas akomodasi di kota Majenang.
Sedangkan, wilayah IV, meliputi wilayah pembantu bupati Sidareja. Potensi kepariwisataan di wilayah ini memang masih kurang bila dibandingkan dengan wilayah pengembangan lainnya, namum peranannya sangat positif karena merupakan jalur penghubung dengan Jawa Barat, di mana jenis transportasi yang dapat ditempuh adalah transportasi darat dan air.
Terakhir, wilayah Pengembangan Segara Anakan dan Pulau Nusa Kambangan. Dalam buku ini disebutkan, untuk mendukung wisata laguna ini diperlukan kerja sama yang baik dengan pemerintah daerah Jawa Barat dan asosiasi kepariwisataan, karena wisatawan yang datang dari Jawa Barat melalui Segara Anakan maupun sebaliknya setiap tahun semakin meningkat. Tak ketinggalan, usaha pelestarian habitat mangrove yang terdiri dari berbagai jenis.
http://clacape.blogspot.com/2006/02/wisata-segara-anakan.html  


Imbas Sedimentasi Segara Anakan

Membicarakan sedimentasi Sungai Citanduy dan sungai lain berarti pergulatan menyelamatkan perairan dan Laguna Segara Anakan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.Laguna itu memang mengalami pendangkalan dan kehilangan ekosistem uniknya yang merupakan habitat dan tempat pemijahan ikan, udang, dan biota laut lainnya di selatan Pulau Jawa.

Pergulatan panjang itu dimulai De Haan, pejabat Pemerintah Kolonial Belanda (1931) yang menaruh perhatian terhadap hutan mangrove. Ia khawatir, tingginya tingkat sedimentasi yang masuk dan mengendap di Perairan Segara Anakan akan menyebabkan pendangkalan di Laguna Segara Anakan.

Kekhawatiran De Haan menjadi kenyataan. Kini perairan yang terletak di selatan Cilacap dan berbatasan dengan Pulau Nusakambangan di sebelah timur dan wilayah Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, itu nyaris tinggal hikayat.

Luas kawasan Segara Anakan dari tahun ke tahun kian menyusut akibat pendangkalan atau sedimentasi lumpur yang dibawa Sungai Palindukan, Cikonde, Cianduy, serta sungai lainnya yang bermuara di laguna tersebut.

Menurut data yang dimiliki Pusat Studi Kebijakan Lingkungan (PUSAKA), pada tahun 1903 luas kawasan segara anakan tercatat 6.450 hektare (ha), tahun 1992 menjadi 1.800 ha, dan tahun 2001 menyusut menjadi 1.200 ha, dan Maret 2006 hanya tersisa tidak lebih dari 834 ha.

Endapan lumpur yang dibawa beberapa sungai yang bermuara di Segara Anakan tiap tahun kurang lebih 5 juta meter kubik. Sehingga meskipun telah dilakukan pengerukan secara periodik, kontribusi lumpur dari sejumlah sungai itu mengakibatkan luas laguna kian menyempit.

Ketika penulis bersama dengan beberapa tokoh LSM yang ada di Cilacap melihat secara langsung kondisi segara anakan terutama yang sangat memprihatinkan di alur Plawangan Barat Nusakambangan yang kini menyempit hingga berjarak sekitar 60 m antara pulau Jawa dan Nusakambangan.

Kawasan Unik

Laguna Segara Anakan menyimpan sejumlah keunikan. Berlokasi di daerah muara di pantai selatan Jawa Tengah, tempat ini memiliki kawasan mangrove yang masih tersisa di Jawa. Malahan, sejumlah catatan menunjukkan kawasan mangrove di Segara Anakan adalah kawasan terluas di wilayah paling padat penduduk di Indonesia. Tentu saja, kawasan mangrove itu mendukung kehidupan minimal 85 jenis burung, termasuk bangau bluwok (Mycteria cinerea) dan bangau tongtong (Leptoptilos javanicus) � keduanya tercatat sebagai burung terancam punah.

Kehidupan burung air dapat menjadi indikator kehidupan hayati Segara Anakan. Secara umum burung air di kawasan ini tersebar berdasar kondisi lahan basah yang berada di wilayah tersebut serta kecendrungan pola penyebaran masing-masing jenis burung.

Kawasan mangrove di tanah Jawa sudah semakin langka dan di kawasan ini kabarnya paling luas di Dunia setelah Negara Brazil. Di kawasan mangrove kita dapat melihat kehidupan keanekaragaman hayati yang unik. Yang paling gampang, perilaku burung-burung air.

Pada kawasan hutan mangrove maupun paparan lumpur dan sekitarnya ditemukan burung yang dilindungi, di antaranya: cangak abu, kuntul besar, kuntul perak, kuntul kecil, bluwok, bangau tong-tong, camar, raja udang, burung madu, dan elang ikan. Selain burung dilindungi, juga ditemukan jenis burung migran dari belahan bumi utara: trinil, gegajahan dan cerek.

Pada bagian areal mangrove hutan campuran dari Sungai Ujung Alang ke timur hingga Sungai Bengawan ke selatan sampai daerah Jojog dan ke barat mulai Sungai Kembangkuning sampai dekat Motean ditemukan 32 jenis burung dan 13 jenis di antaranya termasuk burung yang dilindungi.

Sayangnya, kawasan Segara Anakan dari tahun ke tahun terus mendapat tekanan. Sebagian besar tekanan itu disebabkan oleh aktivitas manusia. Sebut saja, konversi hutan mangrove menjadi tambak, pencurian kayu mangrove untuk kayu bakar hingga ancaman perburuan burung air menjadi penyebab tersingkirnya beberapa spesies burung air yang ada di sini.

Penebangan kawasan hutan mangrove memang sudah terbukti menyebabkan luas hutan Segara Anakan terus menyusut. Dari 21.000 ha saat ini diperkirakan tinggal 6800 ha saja. Tentu, penyusutan hutan akan berdampak pada kehidupan dan populasi ikan, udang dan biota laut lainnya. Kabarnya, kawasan sisa-sisa hutan mangrove tak lagi menjadi persinggahan burung-burung bangau Australia yang bermigrasi. Pasalnya, sudah terlalu susah untuk mematuk ikan atau udang.

Ekonomi

Ekosistem Segara Anakan yang terdiri dari kawasan hutan mangrove, muara berbagai sungai, dan bentuknya sebagai laguna, sangat kaya nutrien. Itu sebabnya Laguna Segara Anakan kaya akan sumber daya ikan. Lebih dari 45 jenis ikan ada di sana, baik jenis ikan yang menetap seperti ikan prempeng (Apogon aerus) dan yang bermigrasi seperti sidat laut (Anguilla sp).

Sumber daya biota laut lain di perairan ini adalah ikan�ikan kecil yang merupakan mata rantai pangan bagi berbagai jenis ikan di Samudra Hindia. Ada juga larva dan post larva berbagai jenis ikan dan udang di beberapa alur. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara perairan lepas pantai dengan Segara Anakan.

Hasil penelitian Richard Dudley dari Australia tahun 2000 memperlihatkan, potensi ikan dan biota laut di kawasan Segara Anakan terus menurun dibanding tangkapan 10 tahun silam. Kendati demikian, Segara Anakan masih dapat menopang kehidupan warga setempat sebagai sumber mata pencaharian.

Data menunjukan, hingga kini Kecamatan Kampung Laut dihuni oleh 14.407 jiwa pada areal seluas 139,59 ha. Tercatat tidak kurang dari empat desa berada di wilayah yang bila dilihat melalui peta berhimpitan dengan pulau Nusa Kambangan. Yakni Desa Kleces dihuni oleh 1.211 jiwa, desa Panikel terdapat 4.650 jiwa, desa Ujunggalang 4.658 jiwa dan desa Ujunggagak 3.888 jiwa.

Beberapa yang masih potensial antara lain adalah kepiting bakau, yang menurut Dudley nilai jualnya setiap tahun dapat mencapai Rp 3 milyar, atau udang yang hasil tangkapannya senilai Rp 2,625 milyar lebih per tahun, ikan yang mencapai Rp 3,750 milyar per tahun, atau kerang totok senilai Rp 1,875 milyar per tahun. Apabila ditotal nilainya bisa Rp 11,25 milyar. Padahal, 10 tahun lampau nilai hasil tangkapan dari Laguna mencapai 25 juta dollar AS per tahun atau setara dengan Rp 225 milyar saat ini.

Kemudian lembaga independen Amerika Serikat (ECI/Engineering Consultant Incorporation) yang juga meneliti Segara Anakan menyebutkan, 94 persen udang di perairan lepas pantai selatan Pulau Jawa menggunakan Laguna Segara Anakan sebagai tempat pembiakannya.

Konsep paling baru untuk menyelamatkan perairan dan laguna serta kawasan hutan mangrove adalah memindahkan muara Sungai Citanduy. Dengan membuat sudetan sepanjang 3 kilometer, muara sungai yang semula di Perairan Segara Anakan di geser ke Teluk Nusawere di Kabupaten Ciamis. Ini berdasarkan hasil studi yang menyatakan sebaran lumpur dari Citanduy nantinya akan terbuang melebar sejauh satu sampai dua kilometer, paling jauh lima kilometer dari Nusawere.

Pembuatan sudetan Citanduy tidak hanya menyelamatkan Segara Anakan tetapi juga mengurangi genangan banjir, tidak hanya di daerah hilir seperti Sidareja, Patimuan, Wanareja, Karunganten di wilayah Cilacap, tetapi juga puluhan desa di Kabupaten Ciamis.

Banjir akibat luapan Citanduy memang hampir setiap tahun menggenangi belasan desa di wilayah Kecamatan Patarunan, Langensari, Lakbok, Padaherang, dan Kecamatan Kalipucang yang menimbulkan kerugian Rp 15 milyar per tahun. Di Kecamatan Lakbok misalnya, dari areal persawahan seluas 6.014 ha yang merupakan daerah irigasi teknis yang mengandalkan suplai air dari Citanduy, 18 persen atau setara dengan 1.100 ha terkena dampak langsung luapan Citanduy.

Melihat kerugian yang begitu besar, sudetan Citanduy perlu segera direaliasikan. Jika tidak, kerugian lebih besar bakal dialami petani di wilayah Cilacap maupun Ciamis.

Aset Nasional Terancam

Sedimentasi di Segara Anakan tidak hanya menjadi faktor utama penyebab banjir, namun sudah mengancam keberadaan aset nasional kilang PT. Pertamina (Pearsero) UP IV Cilacap serta sejumlah industri lainnya.

Apalagi, proses sedimentasi bukan hanya dari lumpur Citanduy, tetapi juga sejumlah sungai lainnya, antara lain Sungai Cimeneng dan Sungai Cibeureum.

Sedimentasi Segara Anakan tidak hanya menyebabkan banjir, namun juga mengganggu alur pelayaran kapal tanker pemasok minyak mentah (crude oil) ke pelabuhan khusus Pertamina Lomanis Cilacap.

Setiap dua tahun sekali PT. Pertamina (Persero) harus melakukan pengerukan lumpur pada alur tanker hingga ke pelabuhan dalam Bengawan Donan sejauh 3 km. Frekuensi pengerukan diperkirakan akan terus meningkat, mengingat proses sedimentasi semakin cepat.

Setiap tahun, penambahan ketebalan lumpur di alur kapal tanker di area 70 Pertamina UP IV mencapai 75 cm. Artinya, setiap dua tahun endapan lumpur bertumpuk setinggi 1,5 meter. Padahal, tanpa ada pengerukan dapat dipastikan pasokan minyak mentah dari negara Timur Tengah terganggu. Tentu saja Pertamina tidak ingin menuai protes dari International Marine Organization ( IMO ) dan negara pengekspor minyak, sehingga secara berkala harus melakukan pemeliharaan alur dengan pengerukan.

Menurut data dari PT. Pertamina (Persero) Cilacap, pengerukan lumpur terakhir dilaksanakan 2003 dengan volume lumpur yang diangkat mencapai 375.000 m3 dan sekali pengerukan dibutuhkan biaya Rp 4,8 miliar. Dana itu sengaja dianggarkan sebagai biaya operasional, meskipun pengguna perairan area 70 bukan hanya Pertamina tetapi industri lainnya.

 Pro dan Kontra

Meskipun upaya penyelamatan ini sudah matang, namun tidak serta merta rencana tersebut dapat dilaksanakan. Tanggapan masyarakat setempat belum semuanya senada. Ada yang setuju ada juga yang tidak. Pasalnya, menurut mereka yang belum seirama berpendapat, memang Segara Anakan bisa diselamatkan, tapi sebaliknya, Teluk Nusawere akan menjadi korban. Nusawere menurut mereka, merupakan daerah tangkapan ikan yang potensial bagi nelayan Ciamis. Masalah ini pun akhirnya meresahkan mereka, kawatir hasil tangkapan ikannya akan berkurang.

Bukan cuma itu, menurut beberapa kalangan anggota DPR-D Ciamis, yang masih keberatan upaya penyodetan ini dilakukan, membayangkan buangan lumpur di mulut sodetan akan terseret sampai ke pantai wisata Pangandaran. Tapi, mungkinkah lumpur itu akan terbawa arus sampai ke pantai Pangandaran yang berjarak 25 km itu?

Apa yang dikhawatirkan oleh sebagian masyarakat ini terlalu jauh, karena lumpur-lumpur itu akan menyebar terkena gelombang lautan bebas yang besar, bahkan akan mengarah ke tengah lautan samudera Hindia itu. Jadi, sangat kecil sekali kemungkinan lumpur-lumpur dari sodetan harus mengembara sampai ke pantai Pangandaran dengan jarak sejauh itu.

Silang pendapat mengenai rencana ini memang masih ada, tetapi pertemuan-pertemuan antara masyarakat, pihak Proyek Citanduy yang akan melaksanakan pekerjaan ini beserta pemda dan pihak DPR-D dari ke dua kabupaten itu terus dilakukan untuk menyamakan persepsi dan mencari titik temu. Meski pihak pemda Ciamispun akhirnya memahami rencana tersebut namun masih ada sebagian kelompok masyarakat yang belum iklas, sehingga kegiatan konstruksi proyek penyelamatan Segara Anakan ini belum bisa dilanjutkan.

Laboratorium Alam

Ekosistem mangrove Segara Anakan yang berpotensi memiliki fungsi sosial ekonomi tinggi ini harus diselamatkan adalah jelas semua pihak setuju. Dengan demikian, kelanjutan siklus kehidupan ikan, udang, kepiting, dan fauna lain pada umumnya, termasuk burung, aneka reptil, dsb., di laguna ini dapat dipertahankan. Sebab, semua itu sangat erat terkait dengan kepentingan atau hajat orang banyak.

Laguna ini merupakan tempat berkembang biak dan tempat membesar atau berkembangnya anak-anak satwa laut itu sebelum kemudian keluar melalui muara laguna ke laut lepas, Samudera Hindia, untuk selanjutnya ditangkap para nelayan. Oleh karena itu, Segara Anakan harus diselamatkan. Hal itu penting buat menunjang keberlanjutan produk perikanan laut setempat yang sangat erat berkaitan langsung dengan kondisi sosial ekonomi nelayan.

Juga, sebagai prasarana transportasi laut antar kecamatan dan pusat-pusat keramaian di tepi barat, selatan, dan timur perairan Segara Anakan. laguna ini adalah sangat vital. Potensi lain laguna ini adalah laboratorium alam bagi para peneliti dalam dan luar negeri dari aneka disiplin ilmu bio-geo-fisik dan sos-ek-bud-kum.

Karena, laguna ini kaya akan aneka fenomena yang dapat dikaji dari sisi salah satu atau bahkan dari sisi terpadu interdisiplin tersebut. Katakanlah, sebagai contoh dari banyak fenomena alami maupun sosial, masalah tanah timbul dapat dipandang sebagai satu fenomenon sosekbudkum yang khusus. Selain juga sebagai bahan kajian yang menarik dari salah satu aspek dinamika kebumian (geodinamika) dan lingkungan yang bisa dikaitkan dengan kajian ekosistem setempat.

Laboratorium alam ini sangat berharga sebagai objek kajian yang tersedia untuk sarana belajar para peneliti muda dan anak-anak sekolah mulai dari para pelajar SD sampai kakak-kakaknya para mahasiswa perguruan tinggi untuk belajar mengamati fenomena geologi lingkungan setempat yang memiliki ciri khas sebagai fenomena khusus dan tidak dijumpai atau langka di wilayah lain.

Oleh karena itu, wajar kalau seluruh pihak menyayangkan apabila laguna ini kelak pada suatu saat kering menjadi hamparan luas, yakni suatu pedataran aluvium (alluvial plain) seperti di wilayah lain di sebelah utaranya. Akan keringkah laguna ini kelak, kapan? Wallahu A'lam, tiada lain selain Allah SWT. yang Mahatahu. Adakah tanda-tanda ke arah itu? Jawabannya, Ya...!

Chabibul Barnabas
Penulis adalah Direktur Pusat Studi Kebijakan Lingkungan (PUSAKA)
  http://www.cilacapmedia.com/index.php/rubrik/lingkungan/91-imbas-sedimentasi-segara-anakan    




SIDHAT SEGARA ANAKAN 4 - 海的孩子鳗鱼

SIDHAT SEGARA ANAKAN 4 - 海的孩子鳗鱼


Luas Laguna Segara Anakan 

Tinggal 11 Persen


TEMPO Interaktif, Cilacap -  Hilangnya Laguna Segara Anakan dari peta bumi tinggal menunggu waktu saja. Luas Laguna yang dulunya kaya habitat laut itu kini tinggal 11 persen.
“Luasnya kini tinggal 700 hektare,” terang Kepala Kantor Pengelola Sumber Daya Kawasan Segara Anakan, Supriyanto, Kamis (15/10).
Pada pengukuran tahun 1930, kata Suprioyanto, luas kawasan Laguna mencapai 6.450 hektare. Menyempitnya Laguna disebabkan pendangkalan dari sungai Citanduy yang bermuara di Laguna tersebut. Selain itu, pendangkalan juga terjadi karena kiriman lumpur dari beberapa daerah longsor di sepanjang sungai Citanduy. “Setiap tahun, lumpur yang terbawa Sungai Citanduy mencapai 5.000 meter kubik,” imbuhnya.
Terakhir, kata dia, dampak gempa bumi Tasikmalaya pada 2 September lalu juga turut andil mendangkalkan Laguna. Sebab, lanjutnya, gempa bumi juga menyebabkan longsor di sejumlah daerah yang lumpurnya terbawa ke Laguna.
Masih menurut Supriyanto, dari hasil penelitian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang dilakukan beberapa waktu lalu, mereka menemukan banyak tanah kritis di sepanjang daerah aliran Sungai Citanduy. Tanah kritis tersebut merupakan timbunan tanah bekas letusan Gunung Galunggung pada tahun 1982. “Tanah ini rentan pergerakan, jika longsor bisa terbawa air dan masuk Citanduy,” ujarnya.
Dia menambahkan, penanganan Laguna tidak cukup hanya dilakukan dengan rehabilitasi. Namun, kata dia, harus ada pendekatan teknik sipil dan ekohidrolik karena permasalahan pendangkalan Laguna begitu kompleks.
Rencananya, tahun 2011 Laguna itu akan dikeruk. Dalam pengerukan tersebut akan diangkat 2,5 juta meter kubik sedimen.
Laguna Segara Anakan merupakan muara Sungai Cintaduy di laut Selatan. Sungai tersebut melintas di 11 kabupaten di Jawa Barat dan Jawab Tengah.
Ekosistem Segara Anakan disebut-sebut sebagai ekosistem mangrove terunik di Asia pasifik. Di laguna tersebut, berkembang 26 jenis pohon mangrove dan ratusan spesies udang dan ikan laut. Dari riset yang pernah dilakukan, setiap hektare mangrove dengan biota laut yang ada, nilai ekonomisnya mencapai Rp 17 juta. Selain itu, Laguna juga menjadi tempat pemijahan 45 jenis ikan, 17 di antaranya merupakan ikan tidak menetap.

ARIS ANDRIANTO
  http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/10/15/brk,20091015-202789,id.html


Laguna Segara Anakan Menyempit, 

Ancaman Banjir Meluas

Sungai Citanduy yang membawa 
banyak sedimen ini menjadi salah 
satu penyebab semakin menyempitnya areal Segara Anakan. 
Untuk menyelamatkan Segara Anakan, 
direncanakan akan dibuat sudetan 
sehingga air sungai itu tidak lagi memasuki Segara Anakan, 
melainkan langsung ke Lautan Hindia. 

Luas perairan Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah, sekarang ini semakin sempit, tinggal 600 hektar dari 4.000 hektar pada tahun 1980-an lalu. Penyempitan itu menyebabkan ancaman banjir tahunan semakin meluas.
Kepala Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Cilacap Mudjiono, Rabu (30/4), mengatakan, sudah setahun ini kawasan banjir tahunan di sekitar Laguna Segara Anakan mulai meluas.
Hingga setahun lalu, kawasan langganan banjir tahunan masih di sekitar Kecamatan Kawunganten dan Sidareja. Namun pada tahun ini mulai mengenai Kecamatan Cipari, Bantarsari, dan Binangun.
Mudjiono mengatakan, fungsi utama dari Laguna Segara Anakan itu sendiri memang untuk menampung limpasan air dari beberapa sungai di Cilacap dan Ciamis, Jawa Barat. Namun dengan laju sedimentasi lumpur yang begitu cepat dari Sungai Citanduy, menyebabkan laguna tak lagi mampu menampung limpasan air dari sejumlah sungai.
Dia memperkirakan jika tak ada penanganan yang serius terhadap penyelamatan Laguna Segara Anakan, dalam 5 tahun ke depan laguna itu akan menjadi daratan. "Dampaknya, kawasan sekitar Segara Anakan hingga hilir Citanduy akan terendam banjir setiap tahunnya," katanya. (MDN)
  http://nasional.kompas.com/read/2008/04/30/14084458/laguna.segara.anakan.menyempit.ancaman.banjir.meluas



Wisata Laguna Segara Anakan 

Belum Tergarap

Oleh Wagino

Keunikan Laguna Segara Anakan dengan kekayaan biota hayati menjadi daya tarik tersendiri. Namun sayang potensi wisata yang ada belum tergarap. Padahal bila digarap dengan serius bakal mendatangkan devisa dan membawa berkah bagi masyarakat sekitarnya terutama Kampung Laut dan dapat menjadi wisata andalan.
CilacapMedia, Sabtu (12/1) mengadakan kunjungan singkat ke Kampung Laut untuk melihat sejauh mana potensi wisata yang berpeluang menjadi andalan bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.

"Padahal mangrove bisa menjadi paket wisata bagi turis asing, mereka dapat berkeliling dengan menggunakan perahu menyusuri hutan mangrove dengan panorama yang indah, mengamati aneka burung langka dan juga bagaimana cara menanam mangrove," ujar Sumarno, warga Desa Ujungalang.

Menurut Sumarno, sudah sering dirinya berbicara dengan beberapa pejabat dari dinas terkait namun hingga kini belum ada tanggapan serius. Padahal dirumahnya sering kedatangan tamu dari luar negeri untuk melakukan penelitian mangrove. Disamping menerima tamu dari luar, rumah Sumarno juga kerap dijadikan mess bagi mahasiswa dari UGM Yogyakarta untuk penelitian hutan mangrove.

Wisatawan mancanegara yang datang melalui Jawa Barat kebanyakan hanya melintas. Mereka naik dari Majingklak dengan menggunakan perahu jenis compreng yang telah dipesan dan turun di dermaga Sleko atau sebaliknya. Namun demikian saat hari minggu dan libur tidak sedikit warga Cilacap kota yang sengaja datang ke Ujungalang maupun Klaces untuk jalan-jalan.

Selain potensi wisata mangrove dan rumah panggung meski tinggal tersisa sedikit, Kampung Laut juga memiliki sejumlah goa-goa yang menarik untuk dikunjungi. Salah satunya yakni Goa Masigit Sela yang berada di Desa Ujungalang. Di depan gerbang goa juga tersedia tempat istirahat yang berupa rumah panggung untuk menikmati keindahan panorama. Di sekitar goa juga tampak banyak satwa seperti burung dan lutung yang bergelantungan di antara pohon-pohon besar.

Melihat kondisi saat ini, sepertinya harus ada pihak ketiga yang merintis paket-paket wisata di Laguna Segara Anakan ditengah penanganan pendakangkalan laguna dan penyempitan perairan yang juga tak kunjung selesai disamping makin maraknya pembalakan liar hutan mangrove.
  http://www.cilacapmedia.com/index.php/rubrik/pariwisata/196-wisata-laguna-segara-anakan-belum-tergarap 



Dinas Upayakan Penyelamatan 

Laguna Segara Anakan


Dinas Kelautan Perikanan dan Pengelola Sumber Daya Kawasan Segara Anakan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, terus mengupayakan penyelamatan kawasan laguna Segara Anakan yang rusak akibat sedimentasi dari Sungai Citanduy.

"Salah satu kegiatan yang kami lakukan adalah pembinaan konservasi kawasan sumber daya perairan khususnya laguna Segara Anakan," kata Sekretaris DKP dan PSKSA Kabupaten Cilacap Supriyanto di Cilacap, Jumat.

Menurut dia, kegiatan yang melibatkan masyarakat dan sejumlah instansi terkait ini merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan Segara Anakan termasuk masalah penggunaan jaring apung di kawasan laguna tersebut.

Dalam hal ini, kata dia, pihaknya berupaya agar para nelayan jaring apung dapat beralih pekerjaan karena penggunaan alat penangkap ikan tersebut dapat merusak ekosistem.

"Laguna merupakan kawasan pemijahan ikan dan biota lainnya. Kalau itu terganggu, dapat berdampak pada penurunan produksi perikanan," katanya.

Terkait penanganan kawasan laguna Segara Anakan, dia mengatakan, Sekretariat Negara (Setneg) telah memberikan respons terhadap surat dari Gubernur Jawa Tengah yang ditujukan kepada Presiden RI beberapa waktu lalu.

Dalam hal ini, kata dia, Setneg telah menerjunkan tim untuk melakukan penyelidikan penanganan Segara Anakan dari aspek pekerjaan umum (PU).

"Terutama dari segi pengendalian sedimentasi," kata dia yang pernah menjabat Kepala Kantor Pengelola Sumber Daya Kawasan Segara Anakan (KPSKSA) Kabupaten Cilacap sebelum digabung menjadi DKP dan PSKSA.

Disinggung mengenai kemungkinan dilakukan pengerukan terhadap material lumpur di Segara Anakan, dia mengatakan, hingga saat ini belum ada rencana tersebut.

Kendati demikian, dia mengatakan, sebelumnya pernah ada rencana pengerukan di Segara Anakan tetapi akhirnya batal dilaksanakan.

Menurut dia, hal itu disebabkan pada saat proses penyusunan kajian awal tidak ada rekanan yang mendaftar.

Kondisi laguna Segara Anakan terus menyempit karena berdasarkan data DKP dan PSKSA Kabupaten Cilacap, luas laguna yang semula 6.460 hektare (pada 1903) menyusut menjadi 700 hektare akibat endapan lumpur dari Sungai Citanduy dan Sungai Cimeneng.

Laju sedimentasi tersebut banyak disumbang oleh Sungai Citanduy yang bermuara di Segara Anakan yang mencapai sekitar 760.000 meter kubik lumpur per tahun dan sisanya dari Sungai Cimeneng.

Berdasarkan pantauan ANTARA di ujung barat Segara Anakan yang dikenal dengan sebutan Plawangan Barat, kedalaman air hanya sebatas pinggang orang dewasa akibat banyaknya material sedimentasi.

Bahkan, kapal motor dapat kandas di tempat tersebut jika nahkodanya tidak memahami jalur pelayaran di Segara Anakan bagian barat, seperti yang dialami KM Pengayoman III milik Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia saat membawa rombongan Wakil Gubernur Jawa Tengah Rustriningsih menuju kawasan Nusakambangan Barat.
  http://www.promojateng-pemprovjateng.com/detailnews.php?id=12208  




SIDHAT SEGARA ANAKAN 3 - 海的孩子鳗鱼

SIDHAT SEGARA ANAKAN 3 - 海的孩子鳗鱼


Konservasi dan Pengendalian Daya Rusak Laguna Segara Anakan

BALAI DATA DAN INFORMASI SDA

DINAS PSDA PROVINSI JAWA BARAT

Jl. Braga No. 137 Bandung


Segara Anakan adalah sebuah laguna yang terletak di Kabupaten Cilacap Propinsi Jawa Tengah. Dari perspektif Lingkungan Hidup, Laguna tersebut merupakan suatu ekosistem unik yang terdiri dari badan air (laguna) bersifat payau, hutan mangrove dan lahan rendah yang dipengaruhi pasang surut. Ekosistem tersebut berfungsi sebagai tempat pemijahan udang dan ikan, sebagai habitat burung-burung air migran dan non migran, berbagai jenis reptil dan mamalia serta berbagai jenis flora. Dari perspektif Sumber Daya Air, Laguna tersebut termasuk dalam DAS Segara Anakan yang merupakan bagian hilir dari wilayah sungai Citanduy
Laguna Segara Anakan mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu sebagai muara sungai Citanduy, sungai Cibeureum, sungai Palindukan, sungai Cikonde dan sungai-sungai lainnya yang berpengaruh besar terhadap kelancaran fungsi sistem drainasi daerah irigasi Sidareja-Cihaur seluas 22.500 ha (Kab. Cialacap), daerah irigasi Lakbok Selatan seluas 4.050 ha dan daerah irigasi Lakbok Utara seluas 6.700 ha (Kab. Ciamis) serta sistem pengendalian banjir Wilayah Sungai Citanduy.

Degradasi Luas Segara Anakan

Tingginya laju pendangkalan akibat sedimentasi sungai Citanduy serta drainase yang buruk dan dipengaruhi pasang surut Samudra Indonesia berdampak pada berkurangnya luas perairan segara anakan yang mempengaruhi luas daerah pemijahan ikan. Secara perekonomian masyarakat, kerusakan ekosistem menyebabkan penduduk kesulitan menangkap ikan sehingga produksi perikanan menurun. Permasalahan besar di segara anakan adalah berkurangnya tampungan air sekaligus penumpukan air di atas muara sehingga banjir pada hilirnya.

 
Degradasi Luas Segara Anakan

Indikasi Degradasi Luasan Segara Anakan

 
Indikasi Degradasi Luas Segara Anakan

 
Indikasi Degradasi Luasan Segara Anakan

Permasalahan banjir

Target pengurangan luas genangan banjir dari 20.700 ha menjadi 2.000 ha, ternyata saat ini tidak dapat dicapai lagi (data banjir tahun 1996, luas genangan 11.695 Ha bahkan pada tahun 2000 luasan genangan mencapai ±14.000 Ha). Penyebab banjir diantaranya adalah :
  • Pendangkalan Segara Anakan, dimana Segara Anakan adalah sebagai muara sungai – sungai di DAS Citanduy dan DAS Segara Anakan.
  • Berubahnya fungsi retarding basin Wanareja menjadi daerah permukiman dan pertanian.
  • Tidak berfungsinya 4 unit dari 6 unit pelimpah di Wanareja Kabupaten Cilacap karena ditutup oleh masyarakat.
  • Penurunan kinerja dari bangunan pengendali banjir karena umur fasilitas (+ 25 Tahun).
  • Menurunnya kapasitas sungai karena sedimentasi.
  • Penambangan galian C yang sulit dikendalikan.
  • Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap fungsi sungai dan prasarana pengendali banjir.
  
Banjir di Kabupaten Cilacap

Pengendalian Daya Rusak Air Wilayah Sungai Citanduy yang dilaksanakan sejak tahun 1976 sesuai dengan Masterplan Citanduy tahun 1975, selama ini lebih banyak difokuskan pengendalian banjirnya di daerah hilir sungai Citanduy yang mengalami banjir dan genangan sepanjang tahunnya. Daerah bagian hilir sungai Citanduy merupakan daerah floodplan sungai Citanduy atau daerah aluvial yang membentang dari kota Banjar hingga muara di Segara Anakan.

  
Sistem Pengendalian Banjir Master Plan 1975

  
Sistem Pengendalian Banjir Saat Ini

Erosi dan Sedimentasi Segara Anakan

Tabel 1. Jumlah sedimen yang mengendap di Laguna Segara Anakan

Sungai
Jumlah AngkutanSedimen
(Juta m3/th)
Langsung
ke Laut
(Juta m3/th)
Mengendap
Di S.A.
(Juta m3/th)
- Citanduy
5,00
4,26
0,74
- Cimeneng, Cikonde
0,77
0,51
0,26
T o t a l
5,77
4,77
1,00
Sumber : ECI, 1994

Tabel 2. Luas Areal berdasarkan Kelas Erosi (Erosi Aktual) di WS Citanduy

Sub-DAS / DAS
Luas Areal (Ha)
Sangat Ringan
Ringan
Sedang
Berat
Sangat Berat
Citanduy Hulu a)
11.274
29.060
25.719
8.794
-
Cimuntur b)
13.340
11.527
35.374
259
-
Cijolang c)
21.546
21.954
4.150
355
25
Cikawung d)
32.349
25.683
11.938
2.024
256
Ciseel e)
41.718
31.335
19.376
4.072
-
Segara Anakanf)
73.421
21.689
11.667
2.895
328
TOTAL
193.648
141.248
108.224
18.399
609
Sumber:
a) Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Cimanuk Citanduy, 2004
b) Sub Balai Rehabilitasi Lahan & Konservasi Tanah, DAS Citanduy-Cisanggarung, 1999
c) Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Cimanuk Citanduy, 2000
d) Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Cimanuk Citanduy, 2002
e) Sub Balai Rehabilitasi Lahan & Konservasi Tanah, DAS Citanduy-Cisanggarung,1999
f) Sub Balai Rehabilitasi Lahan & Konservasi Tanah, DAS Citanduy-Cisanggarung, 1993

Tabel 3. Prediksi nilai sedimentasi berdasarkan fungsi kawasan di WS. Citanduy

Sub-DAS / DAS
Sedimentasi (mm/th)
Kawasan Lindung
Kawasan Penyangga
Kawasan budidaya tahunan
Kawasan budidaya semusim
Pemukiman
Citanduy Hulu a)
1,62
1,32
0,43
0,27
0,25
Cimuntur b)
0,29
-
0,30
0,73
0,20
Cijolang c)
0,63
0,16
0,13
0,03
-
Cikawung d)
0,68
0,58
0,23
0,13
0,25
Ciseel e)
1,28
0,40
0,13
0,03
-
Segara Anakanf)
2.41
0,61
0,10
0,09
0,18
Sumber:
a) Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Cimanuk Citanduy, 2004
b) Sub Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, DAS Citanduy-Cisanggarung, 1999
c) Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Cimanuk Citanduy, 2000
d) Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Cimanuk Citanduy, 2002
e) Sub Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, DAS Citanduy-Cisanggarung, 1999
f) Sub Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, DAS Citanduy-Cisanggarung, 1993

Kewenangan Badan pengelola

Beberapa badan / instansi yang mengelola Kawasan Segara Anakan, diantaranya :
Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA)
PT. Perhutani, mengelola beberapa kasawasan hutan di Kabupaten Cilacap
Departemen Kehakiman dan HAM, mengelola Pulau Nusakambangan.


Kewenangan Badan pengelola

Upaya Pengendalian Daya Rusak Air DAS Segara Anakan

1. STRUKTURAL

✻ Alternatif I (Memperbesar Kapasitas Sistem di Bagian Hilir)

Meninggikan tanggul Sungai Citanduy dan Sungai Cikawung mulai dari pelimpah Wanareja ke hilir Bendung Manganti.
 

✻ Alternatif II (Pengurangan Debit Puncak)

  • Menetapkan daerah tertentu manjadi areal parkir air banjir sementara
    Retarding Basin Wanareja Ciganjeng dan Cipanggang (Lakbok Selatan), Rawa Cilanggir di Majenang, Daerah Karangbawang dan Rawajaya (di DAS Segara Anakan)
  • Pengurangan debit puncak dengan membangun waduk (bendungan)
    Pembangunan waduk Matenggeng, dapat mengurangi debit puncak ± 12%.
     

✻ Alternatif III (Melayani Debit Banjir)

  • Transfer antar Basin
    Bangunan Pelimpah dari Bagian Hulu Sungai Citanduy -Cilamaya - Sungai Ciwulan.
    Bagian hilir Sungai Cikawung airnya dialirkan ke Rawa Tarisi - ke Drain Cikaronjok.
  • Memperbesar kapasitas sungai atau drainasi dengan cara rehabilitasi / normalisasi alur

2. Non STRUKTURAL

✻ Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

  • Pencagaran vegetasi
  • Pengaturan tata pengolahan lahan
  • Bangunan-bangunan pengendali kemiringan dan erosi
  • Penanaman tanaman-tanaman pencegah erosi

✻ Pengendalian dan Pengelolaan Dataran Banjir (Flood Zoning)
✻ Sandi Bangunan (Flood Proofing)
✻ Sistem Peringatan Dini


Upaya Penyelamatan Segara Anakan Yang Telah Dilakukan

 
Project Area Segara Anakan

Komponen A (Sipil Teknis) oleh Departemen Kimpraswil.

✻ Pengerukan Laguna Segara Anakan 515 Ha (selesai Maret 2005)

Pengerukan Laguna Segara Anakan

  
Pengerukan Laguna Segara Anakan

✻ Sudetan Sungai Cimeneng ke Sungai Cibeureum 8,70 km (selesai Desember 2003)

 
Sudetan Sungai Cimeneng ke Sungai Cibeureum

  
Sudetan Sungai Cimeneng ke Sungai Cibeureum

Alternatif Penanganan (Komponen A / Teknik Sipil)

✻ Sketsa Bukaan (Outlet/Inlet) Laguna Segara Anakan

Sketsa Bukaan (Outlet/Inlet) Laguna Segara Anakan

✻ Pola Operasi Outlet Segara Anakan

Pada skenario ini bukaan I, III, IV dan VI ditutup sedangkan bukaan V dan VII tetap terbuka dan bukaan II dibuat pintu. Pintu berfungsi untuk mengakomodasi keluar dan masuknya perahu nelayan. Saat air pasang dan terjadi banjir di sungai Citanduy pintu ditutup. Air yang masuk ke Segara Anakan bukaan VII. Pada saat air surut pintu dibuka, sehingga air dari Segara Anakan keluar melalui pintu bukaan II dan bukaan VII. Pada skenario 2 ini dilakukan peninjauan pola penyebaran sedimen dan kegaraman serta perubahan fluktuasi muka air di Sungai Citanduy.

✻ Pola Operasi Outlet Segara Anakan

Gagasan untuk mengkalibrasi model dengan skenario 2 di lapangan, direncanakan dengan menutup bukaan I, III, IV dan VI, dan sebagian bukaan II dengan struktur bambu tegak berjajar dengan jarak antara cerucuk 0,50 m, yang dilengkapi tabir dari plastik tenda yang kedap. Pada bukaan II sebagian besar ditutup dengan struktur tersebut di atasdan sebagian lagi ± 20 m hanya terdiri dari cerucuk bambu. Pada saat air pasang (rising limb) tabir dipasang dan pada saat air surut (falling limb) tabir di lepas.

✻ Sketsa Lokasi & Hasil Pengukuran Kecerahan/Kekeruhan

Sketsa Lokasi & Hasil Pengukuran Kecerahan/Kekeruhan

Komponen B (Community Development) oleh Departemen Dalam Negeri

✻ Kegiatan konvensional tetap dilajutkan dan terkait dengan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL).

Jenis kegiatan yang dimaksud adalah :
  • Hutan rakyat
  • Kebun rakyat
  • Agroforesti
  • Vegetasi permanen
  • Percontohan konservasi dan rehabilitasi lahan dalam satu hamparan lahan
  • Kebun bibit desa
  • Penanganan daerah resapan mata air (arboretum)

✻ Pengembangan Model Pengelolaan Daerah Tangkapan Air (DTA)

Tujuannya adalah untuk mengimplementasikan pengelolaan DAS dalam kawasan satuan hidrologis. Hasil akhir dari pengembangan Model DTA :
  • Diperoleh suatu model pengelolaan satuan hidrologi dalam skala kecil (DTA) yang dapat dikembangkan dan diekspansi ke kawasan DAS yang lebih luas.
  • Diperoleh suatu ukuran keberhasilan terhadap kelestarian fungsi lahan, hutan, pengurangan sedimentasi, dan peningkatan pendapatan.
  • Diperoleh media percontohan, pendidikan / penelitian dan penyuluhan pengelolaan DTA yang riil di lapangan.


Tindak lanjut terhadap MoU dengan Perum Perhutani mengenai pengelolaan hutan di wilayah Up Land maupun hutan mangrove di wilayah Low Land.

✻ MoU dengan Departemen Kehakiman dan HAM mengenai pengelolaan dan pemanfaatan Pulau Nusakambangan.

✻ Menciptakan alternatif pekerjaan yang tidak merusak kelestarian ekosistem kawasan Segara Anakan.

✻ Pelatihan dalam peningkatan ketrampilan masyarakat berdasarkan minat dan kemampuan,

seperti :

  • Pelatihan pengelolaan budi daya air payau, empang parit, tambak semi intensif, pelatihan penangkapan lepas pantai, penanganan pasca panen.
  • Petatihan keterampilan dalam mendukung ekowisata (pemandu wisata, kerajinan tangan, rumah makan khas Kampung Laut).
  • Pelatihan untuk upaya pencarian alternatif mata pencaharian masyarakat.
     

✻ Pemantapan sistem Silvofishery

Keuntungan sistem silvofishery adalah :
  • Mengurangi besarnya biaya penanaman, karena tanaman pokok dilaksanakan oleh penggarap.
  • Meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan dengan hasil pemeliharaan hutan.
  • Menjamin kelestarian hutan.

✻ Penyadaran kepada masyarakat tentang kelestarian lingkungan hidup melalui Public Awareness, pendampingan dan sosialisasi,

melalui :
  • Buku-buku cerita bergambar, poster, leaflet, dan brosur
  • Papan larangan
  • Siaran radio, pertunjukan wayang

Kegiatan Community Development Yang Telah Dilakukan adalah :

✻ Rehabilitasi hutan bakau rakyat 1.125 Ha & pengolahan 5.000 Ha.

✻ Pembuatan percontohan aquakultur 20 Ha.

✻ Perbaikan prasarana desa (jalan, air minum, kantor desa)

✻ Konservasi tanah dan pengendalian erosi 5.000 Ha di Sub-DAS Cimeneng (DAS Segara Anakan)


Upaya konservasi lahan mengalami banyak kendala karena tidak adanya persepsi positif dari masyarakat. Menurut sumber dari BPKSA, program reboisasi yang dilakukan di DAS Segara Anakan (Kabupaten Cilacap) mengalami kendala akibat 70 % lebih kepemilikan tanah di Kabupaten Cilacap adalah tanah masyarakat dengan luasan kepemilikan rata-rata 0,5 Ha.

 
Upaya konservasi lahan

Program rehabilitasi hutan mangrove 1.125 Ha juga mengalami kendala karena kayu mangrove ditebang dan digunakan oleh masyarakat sebagai bahan bakar industri dengan penjualan Rp. 4.000 / m3 (tidak sebanding dengan biaya rehabilitasi hutan mangrove yang menghabiskan ratus juta rupiah). 

  
Eksploitasi Hutan mangrove untuk bahan bakar industri

Tabel di bawah ini menunjukkan degradasi luas hutan mangrove akibat illegal logging yang dilakukan oleh masyarakat. Pengurangan luasan hutan mangrove juga diakibatkan oleh adanya konversi lahan menjadi areal pertambakan, pertanian dan permukiman.

Tabel 4. Pengurangan Luas Hutan Mangrove di DAS Segara Anakan

No.
Tahun
Luas Hutan Mangrove (Ha)
1
1974
15.551
2
1978
10.975
3
1994
8.975
4
1998
8.892
5
2003
8.506
Sumber : BPKSA, Cilacap, 2006

Program aquakultur merupakan program percontohan sebagai alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat. Implementasi aquakilutur berupa pembuatan kolam perkembangbiakan udang dan ikan melalui penerapan teknologi dan manajemen yang baik. Diharapkan program ini dapat merangsang sektor swasta untuk ekstensifikasi 180 ha kolam dan diharapkan Pemda Cilacap dapat mengontrol kegiatan aquakultur 200 Ha. Program percontohan aquakultur telah selesai sebelum terealisasinya sudetan, sehingga kualitas air kolam tetap jelek, dan program mengalami kegagalan karena masyarakat merasa terpaksa untuk berpartisipasi dan pemilihan lokasi kolam tidak terseleksi dengan baik.
 
Konservasi lahan dengan target semula 5.000 Ha memberikan hasil yang melampaui, berupa 8.800 Ha areal yang terdegradasi di Cimeneng dan Cikawung, serta 500 Ha di upper catchment Ciseel telah direhabilitasi kembali. Pemerintah daerah Ciamis kemudian melanjutkan reforestasi seluas 7.000 Ha. Hasil ini masih sangat jauh dari luas lahan konservasi yang diharapkan jika merujuk pada UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan : luas penutupan lahan ideal berupa hutan, baik dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan minimal 30 % dari luas DAS. Di sisi lain, untuk melihat hasil / perbedaan yang signifikan dari program konservasi lahan membutuhkan waktu paling sedikit 10 tahun, merupakan waktu yang cukup lama untuk tetap mempertahankan dan menyelamakan fungsi ekologi Laguna Segara Anakan.
Luas hutan yang terdapat dalam WS. Citanduy yang terdiri dari 6 Sub DAS hanya berjumlah 223,24 Km2 atau 4,86 % dari luas total WS Citanduy (4.588,88 Km2)
Menurut UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pada Pasal 18 Ayat 2 : luas penutupan lahan ideal berupa hutan, baik dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan minimal 30 % dari luas DAS, dengan sebaran yang proporsional. Maka paling tidak luas total hutan negara dan hutan rakyat yang terdapat di WS. Citanduy adalah minimal 1.376,66 Km2, suatu jumlah yang sangat besar dibandingkan luas hutan saat ini (6,17 kali dari 223,24 km2)

  
Luas hutan yang terdapat dalam WS. Citanduy

Komponen C (Capacity Building) oleh Pemerintah Kabupaten Cilacap

✻ Pembentukan BPKSA (Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan, setingkat eselon II B)

Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 28 Tahun 2000 tentang Pembentukan, Organisasi dan tata Kerja Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan. Badan Pengelola adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan merencanakan dan melaksanakan pengelolaan Segara Anakan secara mandiri dan bersifat swadana. Pengertian Pengelolaan Kawasan Segara Anakan adalah memberdayakan sumber daya alam yang ada di kawasan Segara Anakan dengan tetap melindungi fungsi ekologis untuk membiayai konservasi dan pembangunan kawaan tersebut secara mandiri.
Dengan terbentuknya Badan Pengelola, diharapkan upaya konservasi dan action plan penyelamatan diharapkan dapat lebih sistematis mencakup upaya ekologi dan pemberdayaan masyarakat. Permasalahan kewenangan karena kawasan Segara Anakan lintas propinsi (Jawa Barat dan Jawa Tengah) serta kewenangan pengelolaan antara Pemkab Cilacap dan Perhutani serta Departemen Kehakiman dan HAM (pengelola kawasan Nusakambangan) diharapkan tidak menimbulkan egoisme sektoral dan overlapping job description, mengingat strategisnya kawasan Segara Anakan yang mencakup Nusakanbangan di dalamnya, yang oleh Pemkab Cilacap diperuntukkan bagi kawasan konservasi.

✻ Persiapan dan administrasi pelatihan dan public awareness

  • Penetapan tata guna lahan melalui perda dan sosialisasi kepada masyarakat, implementasi dan pemberian sanksi hukum.
  • Pelaksanaan program monitoring dan pengawasan lingkungan.
  • Pembentukan Lembaga Konservasi Desa (LKD)
    Lembaga ini berfungsi sebagai lembaga koordinasi dan konsultasi kegiatan konservasi dan rehabilitasi lahan di tingkat desa. Personil LKD dinetuk oleh dan terdiri dari masyarakat desa yang bersangkutan dengan fasilitas dan bimbingan petugas lapangan.
  • Pengembangan Kelembagaan Pengelola Daerah Tangkapan Air (DTA)
    Lembaga Pengelola DTA mempunyai fungsi dan peran yang hampir identik dengan LKD, hanya cakupan wilayahnya lebih luas. Jika LKD bergerak dalam lingkup desa, LP DTA bergerak dalam satuan hidrologi : lintas desa, lintas kecamatan, bahkan lintas kabupaten.
  • Kesepahaman dan kerja sama antar instansi
  • Konsep pengelolaan DAS merupakan konsep yang holistik, dan mengenal batas alam hidrologis, tidak mengenal sekat-sekat batas administrasi, penguasaan lahan, jenis pemggunaan lahan, dan orientasi pemanfaatn lahan. Mewujudkan DAS yang lestari tidak dapat dicapai dengan aksi oleh satu aktor saja, tetapi kerjasama yang padu dan kesepahaman dalam visi, program yang terintegrasi dan aksi lapangan yang sinergi merupakan kunci tercapainya tujuan pengelolaan DAS.

Referensi :

1. Dep.PU Dirjen SDA IPK PWS Citanduy-Ciwulan, 2006, Rencana Teknis Penyelamatan Laguna Segara Anakan dalam Perspektif Pengelolaan SDA
2. PT. Aditya Engineering Consultant, 2007, Penyusunan Pola Pengelolaan SDA WS. Citanduy-Ciwulan
3. Program Magister PSDA-ITB Kerjasama Dep. PU FTSL ITB Bandung, 2007,Laporan Group Work: Pengembangan Wilayah Sungai Citanduy Studi Kasus Pengembangan Kawasan Segara Anakan.

http://psda.jabarprov.go.id/data/arsip/KONSERVASI%20DAN%20PDRA%20Segara%20Anakan.pdf